wanitaindonesia.co – Seorang perempuan yang bekerja sebagai Master of Ceremony (MC), Putu Dessy tiba-tiba tak boleh tampil dalam sebuah acara yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Bali hanya karena ia adalah seorang perempuan. Para aktivis perempuan protes atas perlakuan diskriminatif ini.
Seorang perempuan yang bekerja sebagai Master Ceremony (MC), bernama Putu Dessy Fridayanthi tiba-tiba tak boleh tampil di depan umum. Hal Ini terjadi dalam sebuah acara yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi Bali pada 10 September 2021. Padahal seharusnya perempuan MC tersebut yang akan mengantarkan pembukaan acara ini
Namun tiba-tiba, Putu tidak diperbolehkan tampil hanya karena ia adalah seorang perempuan. Protes atas tidak diperbolehkannya perempuan MC untuk tampil ini kemudian diposting Putu di media sosial atau dalam akun Instagram pribadinya sebagaimana dikutip dalam Merdeka.com
Dalam postingannya, ia menuliskan tentang keluhannya dan juga melakukan protes karena dilarang tampil dalam acara yang dihadiri oleh Gubernur Bali
“Sejak kepemimpinan @kostergubernurbali sudah bukan rahasia lagi jika kami para pekerja event wanita, MC, penyanyi, penari dll sering sekali dicancel client/EO acara H-1 ataupun beberapa menit sebelum acara dimulai. Alasannya karena Koster akan hadir jadi tidak boleh ada pengisi acara wanita,” tulisnya dalam unggahan itu seperti dikutip Senin (13/9).
Para aktivis perempuan yang tergabung dalam networking CEDAW Working Indonesia (CWGI) yang merupakan jaringan kerja masyarakat sipil yang terdiri dari 30 organisasi yang bekerja untuk melakukan monitoring implementasi CEDAW di Indonesia melihat ini sebagai perlakuan diskriminasi yang dilakukan terhadap perempuan pekerja event organizer. Listyowati, salah satu aktivis CWGI sangat menyayangkan diskriminasi Ini
“Kami sangat menyayangkan terjadinya perlakuan diskriminasi ini. Karena kejadian ini tidak hanya sekali saja terjadi, namun kejadian yang sama diduga sudah terjadi pada beberapa MC perempuan lainnya dalam acara yang dilaksanakan Pemerintah Daerah Provinsi Bali. Pada beberapa kesempatan lain, MC perempuan juga tidak diberikan kesempatan untuk melakukan pekerjaannya sebagai MC dalam acara yang dilaksanakan Pemerintah Daerah Provinsi Bali dan di hadiri oleh Gubernur Bali.”
CWGI menjelaskan dalam pernyataan sikapnya, bahwa kasus diskriminasi yang baru-baru ini menimpa salah satu MC perempuan di Bali pada acara Pemerintah Daerah Provinsi Bali yang di hadiri oleh Gubernur Bali dan salah seorang Menteri pada 10 September 2021 ini merupakan kejadian nyata dan bukanlah hoax. Hanya karena berjenis kelamin perempuan, MC tersebut dilarang tampil berhadapan langsung dengan audiens dan pejabat, dan diminta untuk membawakan acara dari ruang tertutup dan hanya dapat melihat audiens dan pejabat dari balik jendela.
Padahal negara telah meratifikasi Kovensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau Convention on Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. Perlindungan pada perempuan pekerja merupakan salah satu komitmen negara yang diamanatkan dalam UU tersebut. Negara berkewajiban menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan mulai dari proses perekrutan, menjalankan pekerjaan, promosi jabatan, peningkatan kapasitas, dan pemenuhan hak-hak pekerja (gaji, cuti, dan lainnya).
“Tindakan diskriminasi tersebut jelas-jelas bertentangan dengan komitmen negara untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak pekerja perempuan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan,” kata Listyowati
Tindakan diskriminasi tersebut juga bertentangan dengan konstitusi, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 5 dan 6 tentang larangan diskriminasi, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja khususnya Pasal 190 (1) tentang adanya sanksi administrasi atas pelanggaran terhadap larangan diskriminasi oleh pemerintah sesuai dengan kewenangannya. Konstitusi Negara Indonesia secara jelas menjamin kebebasan setiap warga negaranya untuk mengambil peran di semua aspek atau bidang.
“Dalam hal ini, kami juga mendukung sikap dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ibu Bintang Puspayoga yang menegaskan bahwa diskriminasi terhadap perempuan pekerja event, khususnya MC perempuan pada beberapa acara yang dilaksanakan Pemerintah Daerah Provinsi Bali seharusnya tidak terjadi. Sikap dari Ibu Menteri tersebut adalah bagian dari tugas fungsi sesuai amanat presiden dan konstitusi, bukan untuk membuat kegaduhan.”
CWGI menilai, sikap yang diambil Menteri sangat tepat mengingat pada Oktober 2021 mendatang, Komite CEDAW PBB akan melakukan dialog konstruktif dengan Pemerintah Indonesia dan meminta pertanggungjawaban negara dalam upaya menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
CEDAW Working Group Indonesia (CWGI) menyatakan bahwa Pemerintah Daerah Provinsi Bali, khususnya Gubernur Bali dan jajarannya untuk menghentikan setiap tindakan diskriminasi atas dasar apapun terhadap perempuan pekerja dalam menjalankan profesinya sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi Negara Indonesia.
Negara baik itu eksekutif, yudikatif dan legislative seharusnya menjalankan komitmen Negara terhadap Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskrimiasi Terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, yaitu dengan menciptakan kesempatan dan hak yang sama kepada semua perempuan pekerja untuk menjalankan profesinya, memastikan lingkungan kerja yang aman dan nyaman bagi perempuan, serta adanya kebijakan yang berperspektif gender dan inklusif di tempat kerja.
“CWGI juga mendukung berbagai upaya negara untuk menghapus stereotip gender dan segala bentuk diskrimasi terhadap perempuan sebagai bukti komitmen negara terhadap pelaksanaan CEDAW di Indonesia di semua aspek kehidupan,” kata Listyowati
Pernyataan ini didukung sejumlah lembaga seperti Kalyanamitra, YAPESDI, Yayasan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan “Mitra Perempuan”, Institut Perempuan, LBH APIK Jakarta, Koalisi Perempuan Indonesia, Perhimpunan Rahima, Yayasan Perlindungan Insani, Yayasan Kesehatan Perempuan, juga individu seperti Syafirah Hardani, dll