wanitaindonesia.co – Tahukah kamu bahwa ada banyak hal yang tak tertulis dalam narasi peristiwa 1965? Banyak perempuan yang dipenjara dan tak pernah diadili, lalu diseret-seret dalam kasus ini. Banyak nama perempuan yang distigmakan sebagai penjahat hingga akhir hidupnya, dan mereka tak pernah tertulis dalam narasi sejarah. Siapa sajakah mereka?
Walau peristiwa 30 September 1965 sudah terjadi 56 tahun lalu, namun perdebatan tentang apa yang pernah terjadi pada tanggal 30 September 1965 masih terjadi sampai kini.
Bahkan Film G 30S/ PKI masih terus diputar sampai sekarang. Pada 28 September 2021 kemarin misalnya, Trans TV masih memutar film ini. Sejarah sudah banyak melakukan kritik atas peristiwa 1965 yang menstigmakan dan mendiskriminasi para korban 65, namun televisi masih memutar film yang bisa makin menambah stigma pada para korban 65.
Dulu, film ini bahkan menjadi tontonan wajib di sekolah-sekolah, banyak sejarawan mengatakan ini merupakan cara pemerintah Orde Baru untuk mengaburkan sejarah 1965.
Pemerintahan Orba kala itu tak hanya memberikan stigma buruk terhadap peristiwa politik 65, stigma terhadap Partai Komunis Indonesia/ PKI, namun juga membuat hidup banyak orang yang tak terlibat dalam peristiwa itu, ikut terseret hingga dipenjara dan tak pernah mendapat keadilan.
Beberapa nama perempuan yang dipenjara karena selalu dikaitkan dengan kasus 65 dan tak pernah mendapatkan keadilan dalam hidupnya antaralain:
Sumilah
Sumilah adalah sosok penyintas yang menjadi korban salah ditangkap pada peristiwa kelam di tahun 1965. Ia dibawa ke penjara Wirogunan, Yogyakarta di tempat itu ia ditahan selama 6 bulan, selanjutnya ia dipindah ke penjara Bulu dan terakhir dibawa ke Camp Plantungan yang merupakan penampungan para penderita penyakit Lepra. Selama 14 tahun lamanya ia dipenjara.
Saat ditangkap, Sumilah masih kelas 4 Sekolah Dasar yang umurnya saja masih 14 tahun. Ia sendiri tidak mengerti gejolak politik yang ada kala itu. Yang ia tahu, ia hanya menari-nari di halaman selayaknya anak kecil lainnya, setelah itu ia diburu dan dipenjarakan.
Selepas dari penjara, ia mencoba untuk bertahan hidup dengan berjualan baju, lalu berjualan sate kambing di pasar Prambanan, Yogyakarta. Dari berjualan itu ia mendapatkan kesempatan untuk bisa menjajaki kehidupan lebih baik,walau rasanya tidak ada yang ingin memilih untuk bertahan hidup dengan selalu menyandang stigma sebagai tahanan politik, namun Sumilah memilih untuk terus hidup. Stigma tersebut terus mengakar sampai ke anak-anaknya.
Dalam pementasan memperingati perjuangan hidup Sumilah yang diberi judul ”Selamatan Anak Cucu Sumilah” pada 30 November 2018 yang diselenggarakan Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) bersama Program Peduli di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Abdus Somad menulis tentang Yohanes Bayu Adi, anak kedua Sumilah yang ikut menonton pertunjukan mengenang ibunya, merasakan sedih bercampur haru.
Kepada Konde.co, ia menyampaikan kepada publik, bahwa apa yang distigmakan kepada ibunya perihal tahanan politik dan terlibat dalam Gestok (Gerakan 1 Oktober) tidaklah benar. Ia menyatakan ibunya bukanlah penjahat, ibunya hanya anak SD yang belum mengerti apa itu politik dan diseret dalam peristiwa yang tidak diketahuinya.
“Sebenarnya saya ingin sampaikan, ibu saya bukan penjahat, bukan orang kriminial, memang dia tahanan politik tapi dia gak tahu politik, masih anak-anak di penjara,’’ ujar Bayu.
Bayu menuturkan, yang menjadi beban berat perihal ibunya bukanlah saat ibunya dipenjara selama 14 tahun. Melainkan legitimasi buruk akan ibunya sebagai seorang tahanan politik yang terus membanyangi sang Ibu setiap harinya. Masa-masa berat itu adalah sebuah ujian yang tidak mudah bagi seorang tahanan politik yang waktu itu menghadapi dinamika kehidupan pasca bebas.
“Sebenarnya beratnya bukan dipenjara, tapi setelah ibu bebas karena dimana pun ibu selalu ada dianggap itu jahat, penjahat, padahal gak. Ibu selalu bilang ya sudahlah orang bilang apa, biarkan saja orang lain menghina kita ditampar pipi kanan kasih saja pipi kiri yang penting kita berbuat baik baik gak kenal mau kenal,’’ katanya mengenang pernyataan ibunya.
Bayu sempat menceritakan, masa kecilnya bersama ibunya merasakan distigma oleh masyarakat. Ia lalui ujaran itu dengan penuh luka. Meskipun marah dengan sebutan itu, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa, membalas ujaran itu baginya buang-buang waktu, sementara itu ibunya mengajarkannya untuk menerima saja apa yang dihadapi saat ini.
“Saya waktu kecil dikatakan itu anak PKI, kalau mau nuntun, nuntut apa kita ke siapa? Orang tua saya dihukum 14 tahun masa mudanya di mana?, setelah dipenjara menerima stigma sempel tahanan politik padahal bukan penjahat. Itu yang berat,’’ ujar Bayu.
Bayu sendiri sempat merasa khawatir dengan masa depannya ketika dianggap bagian dari anak Tahanan Politik (Tapol). Tentu yang membuat ia begitu takut adalah perihal pekerjaannya yang kemudian disangkut-pautkan dengan ibunya sebagai tahanan politik. Ia sendiri tidak mengira sampai sebegitunya menjadi orang yang dicap tahanan politik PKI.
Meskipun demikian Bayu mencoba terus terang kepada atasannya di tempat kerjanya, keterbukaan bagi Bayu adalah sebuah kunci proses penerimaan itu bisa diterima masyarakat, ia memulai dari lingkaran pekerjaannya.
“Saya dulu sering merasa ketakutan, tapi saya harus kerja, bagaimana perusahaan? Apakah saya dipecat atau tidak? itu mungkin terjadi, saya terbuka kepada perusahaan latar belakang orang tua saya,’’ tuturnya.
Semua itu dijalaninya karena pesan sang Ibu, ia harus terus bepegang teguh pada nasehat ibunya, meskipun dirinya tahu sang Ibulah yang paling berat menghadapi kehidupan ini. Sosok Ibu begitu berharga baginya, lambat laut nasehat ibunya mulai mendapatkan hasil, stigma yang ia terima mulai berkurang meskipun masih ada segelintir orang yang masih mengkaitkan dirinya dengan ibunya yang tahanan politik.
Bayu juga bercerita, ibunya mulai terbuka kepada masyarakat ketika ada wawancara dari Fahri Sasongko yang hendak menulis buku tentang ibunya. Bayu menerangkan sebelum buku itu terbit, sang ibu meminta izin kepada keluarga untuk mendapatkan restu, masa-masa itu ia melihat bola mata ibunya nampak ingin menjaga anak dan keluarganya.
Bayu dan keluarga kemudian menguatkan Sumilah untuk terbuka apa adanya kepada masyarakat, agar tahu apa yang terjadi sebenarnya.
“Terus terang ibu mulai terbuka saat diwawancara Fahri Sasongko, ibu minta izin keluarga boleh gak ini diterbitin? kalau ibu gak kebaratan, gak terluka, gak masalah, ibu bukan penjahat. Kalau dicap Tapol gak masalah, ibu gak tahu politik apa, ibu hanya anak kecil yang tahu tari-tarian,’’ kenang Bayu.
Kini, ia merasa lega. Air matanya menetes ketika menyampaikan kesan singkat tentang ibunya, Sumilah. Ia merasa tenang, merasa dihargai. Apa yang dilakukan ibunya dulu, adalah penyemangat bagi hidupnya yang tak pernah habis hingga kini.
Abdus Somad dalam Konde.co juga menulis, aktivis Svetlana dalam acara pementasan teater tersebut juga mengungkap, banyak korban 65 selepas dari penjara terus mendapat stigma dari masyarakat, pernyataan bahwa mereka adalah kelompok orang jahat dan pemberontak, seolah tidak pernah usai menusuk-nusuk tubuh para penyintas. Padahal menurut Svetlana, hal tersebut tidaklah benar, tidak semua orang yang ditangkap pada tahun 1965 adalah orang yang memberontak.
“Korban tidak hanya mendapatkan stigma sebagai orang jahat, tapi juga memberontak, mereka gak tahu apa-apa dari desa gak tahu apa-apa ditangkap dimasukkan ke penjara belum lagi di luar mengalami stigma yang kuat,’’ terangnya.
Salah satunya adalah Sumilah. Hingga meninggal, Sumilah tak mendapatkan keadilan.
Nani Nurani
Nani Nurani adalah seorang penyanyi istana di zaman Presiden Soekarno. Hanya sekali diundang untuk menyanyi di ulang tahun Partai Komunis Indonesia pada 1965 di Cianjur, Jawa Barat, Nani kemudian ditangkap.
Ia kemudian dipenjara karena dianggap sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Selain itu ia juga dituduh menyanyikan lagu-lagunya di lubang buaya pada peristiwa September 1965.
Nani dipenjara di penjara Bukti Duri selama 7 tahun. Tak hanya itu, setelah keluar dari penjarapun ia juga terus diperiksa, selain itu ia juga mendapat stigma sebagai Eks Tapol (ET) dan terus didiskriminasi selama hidupnya.
Di masa reformasi, Nani kemudian mengajukan gugatan ke pemerintah Indonesia di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Dan setahun kemudian PTUN kemudian mengabulkan gugatan Nani dan menyatakan Nani tidak terbukti sebagai anggota PKI.
Ia kemudian juga mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas stigma yang diterimanya hingga Mahkamah Agung dan terus didampingi oleh LBH Jakarta dan YLBHI sebagai pengacara. Nani, telah sekian tahun melakukan advokasi panjang atas perjuangannya.
Kaminah dan Kusdalini
Kaminah dan Kusdalini, dua perempuan Lanjut Usia/ Lansia yang bertemu di penjara di Indonesia di sekitar peristiwa 65. Keduanya dipenjara tanpa mendapatkan keadilan.
Setelah dibebaskan dari penjara, mereka sulit hidup seperti biasa dalam lingkungan mereka karena merupakan mantan tahanan politik yang mendapatkan stigma yang begitu besar.
Sulitnya mendapatkan tempat tinggal dan pengakuan dari lingkungan ini membuat mereka kemudian hidup bersama hingga di masa tuanya di Solo, Jawa Tengah.
Sutradara film, Fanny Chotimah yang selama ini tinggal tak jauh dari rumah Kaminah dan Kusdalini. kemudian merekam keseharian keduanya menjadi cerita persahabatan dua perempuan yang menghadapi berbagai kesulitan bersama dan mengabadikan dalam sebuah film berjudul “You and I.”
Film ini menang dalam kompetisi kategori Asia dan mendapatkan Asian Perspective Award dalam ajang DMZ International Documentary Film Festival di Korea Selatan di tahun 2020.
Hingga meninggal, Kaminah dan Kusdalini tak mendapatkan keadilan