wanitaindonesia.co – Dear pekerja, jika kamu mengalami kekerasan di dunia kerja, kuncinya adalah: berani bicara! Baca 4 tips apa yang harus kamu lakukan jika kamu mengalami kekerasan di dunia kerja
Putri, bukan nama sebenarnya, baru beberapa bulan pindah bekerja ke perusahaan baru. Pindah tempat bekerja ini, ia lakukan saat awal-awal pandemi.
Di tempat barunya, ia berkenalan dengan beberapa rekan kerja, termasuk seorang laki-laki yang ternyata kenal seorang kawan lama Putri saat SMA.
Putri dan laki-laki itu kemudian jadi lebih intens berkomunikasi. Selain mereka berasal dari latar belakang suku yang sama, keduanya juga memiliki ketertarikan yang sama yaitu pada dunia literasi.
Beberapa bulan berjalan, Putri masih merasa wajar saja, namun pernah suatu malam tiba-tiba dia mendapati pesan WhatsApp (WA) dari pekerja laki-laki itu, yang bernuansa sensual. Tanpa konsen dari Putri. Laki-laki itu menawari Putri untuk melepas stres di kosannya. Dia menggunakan diksi akan menghibur Putri yang sedang kesepian.
Tidak hanya sekali dua kali, laki-laki itu juga seringkali melakukan mansplaining (cara laki-laki menjelaskan dengan menggurui dan meremehkan) dan gaslighting (memanipulasi dengan memutarbalikkan kebenaran) kepada Putri. Beberapa kali, laki-laki itu mengajak Putri ketemu langsung, namun Putri menolak.
“Sebelum kejadian pesan itu, sebenernya udah pernah ketemu sekali di tempat ngopi gitu, tapi tanpa konsen dia pernah tiba-tiba menyentuh pipiku agak keras (terasa seperti tamparan). Terus udah gak mau lagi ketemu abis itu,” cerita Putri, beberapa waktu lalu.
Tidak nyaman dengan perlakuan rekan kerjanya itu, Putri memilih untuk tidak merespons setiap pesan atau telepon darinya. Termasuk menyoal pekerjaan, dia juga memilih menghindari setiap interaksi yang memungkinkan mereka bertemu.
Posisi Putri yang masih ‘anak baru’ kala itu, menjadikannya enggan melaporkan ke atasan tempatnya bekerja. Ia khawatir kalau-kalau apa yang dia alami itu, membuat kantornya jadi gaduh.
Lagi pula, Putri juga tidak yakin bahwa kantornya akan memproses apa yang dia laporkan dengan baik. Sebab, mekanisme penanganan jika ada kekerasan dan pelecehan di dunia kerja sepertinya juga belum ada di kantornya. Makanya, dia tidak memperpanjang kasusnya itu.
“Apalagi, posisinya aku masih baru sedangkan laki-laki itu kan udah lama di kantor itu, dia juga kelihatannya dekat dengan manajemen. Iya kalau diproses, kalau aku malah kehilangan pekerjaan?,” kata Putri.
“Makanya, selama ini ya cuma cerita sama teman dekatku di kantor aja, biar gak terlalu tertekan dan kalau ada apa-apa ada saksinya,” imbuhnya.
Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja: Fakta yang Harus Dibuka
Apa yang dialami putri adalah secuil dari ‘gunung es’ yang tergolong bentuk dari kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Tentu, masih banyak juga para pekerja lainnya yang pernah mengalami kejadian serupa. Namun, tidak tahu harus seperti apa ketika mengalaminya.
Padahal, Aktivis Perempuan Mahardhika, Vivi Widyawati menekankan, isu kekerasan dan pelecehan di dunia kerja ini bukan hal sepele. Dan penting untuk jadi prioritas baik itu di serikat buruh, perusahaan, pemerintah dan siapa saja yang ada di dunia kerja. Terlebih, seiring dengan kekerasan dan pelecehan yang semakin banyak modusnya.
“Ini fakta yang tidak bisa dihindari dan tutup-tutupi,” ujar Vivi dihubungi Konde.co, Selasa (12/10/2021).
Selama work from home (WFH), kekerasan dan pelecehan di dunia kerja bukan berarti berhenti. Menurut survei Never Okay Project dan Southeast Asia Freedom of Expression (SAFEnet), yang berlangsung 6 April hingga 19 April 2020 dengan 315 responden yang bekerja dari rumah terungkap sebanyak 86 orang responden di antaranya menjadi korban pelecehan seksual selama WfH berlangsung, 68 responden mengaku menyaksikan pelecehan seksual, dan 30 responden pernah menjadi korban dan saksi pelecehan seksual.
Dari riset itu juga ditemukan, mayoritas korban tidak lapor ke HRD. Ada 94% korban yang tidak percaya HRD akan berpihak dan melindunginya, dan sebesar 38% merasa HRD tidak akan melakukan apapun. Ada juga yang khawatir kariernya akan terpengaruh, khawatir tidak akan ada yang percaya padanya, sampai takut disalahkan atau kena victim blaming.
Pelecehan seksual yang dialami oleh pekerja itu, terjadi secara lintas platform digital yang digunakan untuk bekerja dengan frekuensi yang tidak sedikit. Sebanyak 78% korban pernah dilecehkan di 2 sampai 7 teknologi komunikasi sekaligus dalam jangka waktu 1 bulan kerja dari rumah.
Vivi melanjutkan, kekerasan dan pelecehan memberikan dampak yang serius terhadap korban. Dan itu, bisa berbeda-beda bagi setiap korban. Korban bisa mengalami dampak fisik, psikologis, menghambat dalam berkarir, kehilangan dalam kemampuan akses pekerjaan, hingga kehilangan pekerjaan.
“Sehingga ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Konvensi ILO 190 tentang penghapusan dan pelecehan di dunia kerja menangkap persoalan ini,” katanya.
Konvensi ILO 190 adalah konvensi yang mengatur penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Bersama Rekomendasi No. 206, KILO 190 tentang Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja ini mendorong agar para pekerja mendapatkan jaminan perlindungan dari praktik pelecehan seksual, terutama bagi pekerja-pekerja perempuan. Ratifikasi ini semakin mendesak karena hingga saat ini UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan maupun RUU Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan tidak mengatur kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja.
Pemerintah dan pengusaha, dalam hal ini harus menjamin tidak adanya kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Tindakan untuk melakukan stop kekerasan, pelecehan dan diskriminasi yang terjadi secara global sudah disepakati dalam Konferensi ILO dan Pemerintah Indonesia ikut menandatangani Konvensi ILO 190 tentang stop kekerasan dan pelecehan di dunia kerja pada Juni 2019.
Lalu, apa saja yang perlu dilakukan ketika pekerja mengalami kekerasan dan pelecehan di dunia kerja? Berikut tipsnya!
1. Berani Bicara dengan Pendampingan
Vivi menilai memang tidak ada formula khusus bagi setiap pekerja ketika mengalami kekerasan dan pelecehan seksual. Namun, berdasarkan pengalamannya selama mendampingi kasus, hal yang perlu diyakinkan ke korban ketika mengalami kekerasan dan pelecehan adalah berani untuk menyampaikan. Tapi, tentunya tidak serta merta.
Korban menurut Vivi mesti mendapatkan pendampingan secara psikologis dari pengada layanan, dukungan dari orang terdekat dan terpercaya hingga bisa juga mendapatkan pendampingan serikat buruh. Artinya, korban bicara jika memang benar-benar telah siap dan mempunyai ekosistem pendukung yang cukup.
“Memang butuh proses.. dengan bercerita dan melaporkan itu akan ada usaha untuk menyelesaikan atau menangani kasus yang dialami korban,” kata dia.
2. Mendokumentasikan Bukti dan Mencatatkan Kronologi
Utamanya bila korban belum berani bicara, Vivi bilang, korban bisa terlebih dahulu mencatatkan atau mendokumentasikan kejadian yang dialami. Seperti dicatat/ditulis, membuat kronologis singkat, mengumpulkan bukti-bukti dan disimpan. Sehingga, jika korban di kemudian hari sudah mempunyai kesiapan dan keberanian untuk bicara dan melaporkan, bisa segera diproses.
“Jadi tidak apa-apa tidak langsung dilaporkan, karena kita semua tahu, kekerasan dan pelecehan seksual itu bukan hal yang mudah untuk dilaporkan, untuk dibicarakan, jadi dengan mendokumentasikan, mencatat, itu upaya mengadvokasi walaupun melaporkannya belakangan,” terangnya.
3. Melapor dan Mendorong Kebijakan Perusahaan
Pekerja kemudian bisa melaporkan kasus yang dialaminya ke perusahaan tempatnya bekerja. Tapi dalam hal ini, pekerja bersama pendamping juga perlu melihat situasi di perusahaan tempat bekerja. Sebab, tidak semua perusahaan yang sudah mempunyai kebijakan dan penanganan baik dalam kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.
Semisal, ajukan dulu pertanyaan: apakah sudah memiliki kebijakan dan mekanisme pelaporan kekerasan dan pelecehan yang memadai? Bagaimana dengan potensi relasi kuasa antara pekerja yang mengadu dan teradu? serta hal-hal lain yang perlu disiapkan strateginya.
Organisasi atau serikat buruh, menurut Vivi, memegang peranan penting dalam mendorong adanya SOP aturan soal penanganan isu kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.
“Memastikan bahwa setiap kerja di manapun tempat bekerja memiliki aturan pencegahan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja,” kata dia.
4. Peran Serikat: Mendorong Perluasan Edukasi
Kaitannya dalam upaya pencegahan kekerasan dan pelecehan, menurut Vivi, bukan tanggung jawab korban yang harus waspada agar tak terjadi hal tersebut. Namun, pada pola pikir yang harus diubah yaitu pada pelaku agar tidak melakukan kekerasan dan pelecehan.
Maka dari itu, intinya menurutnya adalah mesti adanya aturan yang menjamin perlindungan bagi pekerja dari kekerasan dan pelecehan. Organisasi atau serikat perlu mendorong perusahaan untuk memberikan pelatihan atau training di dunia kerja itu.
“Memberikan training kepada pekerja, pemberi kerja, kepada pelanggan, kepada siapapun seluas-luasnya training dan informasi. Kalau kekerasan dan pelecehan itu adalah sesuatu yang tidak dapat dibenarkan dengan hal apapun dan berdampak luar biasa kepada korban,” pungkasnya. (wi)