
Wanitaindonesia.co, Jakarta – Idul Adha meninggalkan peer penting ihwal pembagian daging hewan kurban yang tak merata. Umat Islam yang mayoritas, di mana suaranya?.
Ibadah yang memiliki beragam dimensi ini, sesungguhnya mengajak umat untuk taat menjalankan perintah Allah, dengan mempersembahkan kurban terbaik sesuai ajaran Islam. Belakangan di Indonesia menjadi peer penting, karena kurang relevan dengan syarat mampu yang dijadikan tameng bagi masyarakat untuk tak berkurban.
Penting dengan menekankan pada ketaatan, untuk menjalankan perintah Allah serta keikhlasan berbagi kepada mustahik, orang tak mampu penerima daging kurban.
Peer lainnya, ihwal tak meratanya pembagian daging hewan kurban dikarenakan beragam penyebab. Daerah yang ekonominya tinggi, surplus daging kurban serta sebaliknya. Pun pengaruh geografi, sebaran penduduk yang sebagian menempati daerah pelosok yang sulit untuk ditembus.
Ditenggarai ibadah yang bermuatan mulia ini, belakangan malah berbelok dengan mengutamakan kepentingan bisnis. Tengok saja sebulan jelang Idul Adha, banyak yang memanfaatkan momen mulia tersebut dengan berbisnis jual – beli hewan serta menjadi panitia pelaksana pemotongan hewan kurban.
Memang tak salah, tapi dapat mengurangi pahala bahkan dapat membatalkan manfaat ibadah kurban, jika dilakukan tak sesuai ketentuan Al-Qur’ran serta sunnah.
Ada saja temuan serta sejumlah kejadian yang berulang. Umat Islam harusnya mengambil iktibar dari kejadian tersebut. Tak memandang enteng ritual ibadah kurban yang merupakan ujian ketakwaan hambanya kepada Allah SWT.
Beragam kejadian yang bikin gemas kerap terjadi setiap ritual kurban.
Yang baru lalu di Klaten, seekor sapi yang sudah disembelih kemudian bangkit lalu mengamuk.
Tak kalah penting ihwal pendistribusian daging hewan kurban yang tak merata. Masih banyak kaum dhuafa yang belum dapat menikmati kelezatan daging hewan kurban.

Foto : Istimewa.
Fakta dari temuan Dhompet Dhuafa
tersebut dipaparkan oleh Wakil Ketua Tebar Hewan Kurban Dhompet Dhuafa, Imam Alfaruq pada acara “Pelatihan UMKM, Langkah Mudah Berjualan Online untuk Pemula” yang diinisiasi oleh Wanitaindonesia.co bekerja sama dengan Kementerian UMKM RI.
Imam mengingatkan umat, masih banyak daerah khususnya yang berdekatan dengan Jakarta, yang belum menikmati pembagian daging hewan kurban.
Ini menjadi kewajiban bagi umat untuk membantu memerataan pendistribusian daging kurban. Caranya mudah, cukup dengan berkurban lewat Dhompet Dhuafa, unggul lewat Program Tebar Hewan Kurban Waspada.
“Amalan ibadah yang menjadi bukti ketakwaan kepada Allah SWT, dan kesediaan untuk berbagi kepada sesama bisa terlaksana dengan baik, dikarenakan kami berpengalaman serta memiliki distribusi merata hingga ke pelosok daerah, “terangnya.
Imam mengajak para peserta untuk menjadi re-selller hewan kurban, untuk perayaan Idul Adha maupun ritual islam lainnya seperti Aqiqah, dan tasyakuran. Tentu lewat kemampuan serta seni memasarkan hewan dengan cara islami, para seller akan mendapatkan penghasilan yang memuaskan. Selain itu, Imam mengajak peserta serta cyrclenya untuk menjadi mitra peternak.
Lewat presentasi dihadapan peserta, Imam menandai sejumlah daerah yang belum serta sudah menerima daging kurban dengan warna merah serta hijau. Sejumlah kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Sleman Yogyakarta mengalami surplus daging kurban yang sangat besar. Ironisnya, tak jauh dari Jakarta seperti di daerah Pandeglang, masih banyak desa, dan komunitas yang belum mendapatkan daging hewan kurban. Karenanya, kekinian berkurban tak cukup dilakukan hanya di lingkungan sekitar, tapi harus terpusat ke daerah-daerah di mana banyak orang-orang yang membutuhkan.
Ihwal kemampuan berkurban serta fakta yang dipaparkan oleh perwakilan Dhompet Dhuafa, sudah seharusnya Idul Adha ke depan, karut- marut penyelenggaraan ibadah kurban terkait bisnis, penyembelihan hingga pendistribusian dapat segera diatasi. Penting, semua umat islam bisa berkurban dengan memilih penyelenggara yang tepat, dan tentunya dengan memupuk daya beli.

Nenek Pemulung Kurban 3 Ekor Kambing Gemuk
Cerita inspitarif terjadi tahunan lalu, seorang mustahik pemulung renta. Nenek yang hidup sebatang kara di sebuah gubuk kumuh di kawasan elit Tebet, Jakarta Selatan.
Untuk bertahan hidup, nenek tersebut mengandalkan kaki kurus hitam serta tangan ringkihnya. Panas, hujan tak menggoyahkan semangatnya untuk berjuang dengan mendatangi satu persatu tong sampah warga, berharap ada rezeki.
Seolah tak peduli dengan aroma busuk beragam jenis sampah, ancaman luka dari pecahan kaca serta gigitan hewan. Hari ke hari, jam ke jam nenek berahlak mulia ini mengumpulkan sampah yang bernilai ekonomi.
Di sela upaya mencari nafkah, ia rutin menerima sedekah dari orang-orang yang kerap dijumpai saat memulung. Walau berpenghasilan, dan mencukupi, nenek ini tak lupa diri. Tetap menganut filosofi hidup dengan kebersahajaan, warisan dari orang tuanya. Makan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan fungsional, bukan perayaan dengan pilihan menu istimewa.
Sejatinya lansia yang masih harus bekerja seperti menjadi pemulung, populasinya masih cukup banyak di seantero negeri. Mereka bertahan hidup, berjibaku dengan waktu, kondisi fisik menua, kesehatan yang mulai menurun serta finansial. Selain harus bersaing dengan pemulung yang berusia muda berlomba mengais sampah.
Pemulung renta yang pernah viral karena kurbannya itu tekadnya membaja. Ia senantiasa menyisihkan seluruh pendapatan hasil memulung serta sedekah yang diterima. Niatnya mulia ingin berkurban.
Dianggap bukan siapa-siapa oleh orang kebanyakan, kemudian Allah angkat derajatnya manakala niat beribadahnya tersebut berhasil ia wujudkan.
Nenek papa yang terpinggirkan karena status sosial, mampu berkurban bukan hanya satu, bahkan 3 ekor kambing berukuran besar!.
Sontak banyak pihak yang tersengat. Terutama yang masih beralasan belum mampu untuk berkurban. Sebagian yang memiliki keimanan tipis-tipis itu merasa malu. Ada yang dapat hidayah, kemudian mengikuti jejak nenek tersebut.
Lainnya, ya sudahlah. Hanya sebatas kagum sementara, seiring berjalannya waktu mereka kemudian melupakannya.
Mereka seolah tak tersentuh, tak mau mengambil iktibar dari kejadian tersebut.
Miris bukan, negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, penganutnya tak sepenuh hati untuk menjalankan ritual ibadah.
Alih-alih terkontaminasi budaya kapitalis yang dijadikan role model kehidupan. Gaya hidup hedon kerap ditampilkan seperti beli thumbler ikonik, tas branded atau gadget canggih yang harganya mahal mereka mampu. Giliran berkurban, mikir. Merasa diri belum mampu. Lalu abai, dan menganggap belum waktunya untuk berkurban.
“Barang siapa yang lebih baik dari hari kemarin, dia tergolong orang yang beruntung.
Dan barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, dia tergolong orang yang merugi. Bahkan barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dia tergolong orang yang celaka.” (HR Al- Hakim).
Bicara kurban, umat Islam seharusnya selangkah lebih cerdas, dengan hanya menyerahkannya kepada lembaga yang bertanggungjawab serta mumpuni melakukan ritual kurban, yang menyelaraskan dengan ajaran Al-Qur’an, dan Sunnah.
Penting memerhatikan kondisi zaman. Hal inilah yang telah diinisiasi oleh Dhompet Dhuafa. Sebagai lembaga filantropi islam, mereka mumpuni menghadirkan inovasi serta kreativitas berkelanjutan bagi ritual ibadah Idul Qurban yang terkait kemaslahatan umat, serta kehidupan berkelanjutan.

Foto : Istimewa.
Mudhohi Hijrah Agar Ibadah Tak Sia-sia
Katyusha pemerhati masalah sosial yang juga merupakan Mudhohi mengaku, awalnya melakukan ritual ibadah kurban dengan menyerahkan ke komunitas, yang berada di lingkungan tempat tinggalnya. Kurban perdana berupa seekor kambing, lalu patungan bersama 7 orang anggota keluarga dengan membeli seekor sapi.
Awalnya merasa tenang, cukup puas karena sebagai hamba ia mampu membuktikan kecintaan kepada Rabb-Nya.
Namun lambat laun kalbunya berubah tak tenang. Walau belum paham ihwal ilmu agama secara mendalam, hati kecilnya menyoal syarat sah kurban yang sesuai tuntunan Islam. Penting karena sebagai umat, aku pun ingin ibadahku ini bisa diterima amalannya serta beroleh pahala.
Hal ini dikarenakan kerap terjadi hal-hal yang berkaitan soal syariat, yang seringkali tak mampu dipenuhi oleh panitia. Seperti hewan yang sudah disembelih tapi masih bisa berdiri, lalu mengamuk. Ini berarti…? mereka tak paham cara menyembelih hewan kurban.
Kekinian, ibadah kurban juga harus memerhatikan aspek keberlanjutan, tak berdampak mencemari lingkungan. Disayangkan masih banyak panitia yang menggunakan kantung plastik sekali pakai. Serta beragam karut-marut permasalahan tata laksana kurban, yang masih kerap dianggap enteng untuk kemudian dilupakan, dan terjadi kembali.
Pun Katyusha merasakan tiap tahun, harga hewan kurban senantiasa mengalami kenaikan yang cukup signifikan.
Sesungguhnya ibadah kurban merupakan salah satu syariat Islam yang memiliki dimensi luas. Simbol ketaatan, keikhlasan serta kepedulian sosial juga ada unsur bisnis dari transaksi jual-beli hewan kurban.
Ia pun tak bergeming manakala menerima info, ada lembaga penyelenggara ibadah kurban, yang amanah serta membuat hati pengurbannya merasa tenang.
Lewat penjelasan komprehensif, yang mana penatalaksanaan ritual kurban mengutamakan ajaran Islam. Hatinya pun semakin mantap untuk beralih, dari berkurban bersama komunitas di lingkungannya ke lembaga resmi Dhompet Dhuafa, yang memiliki banyak inovasi pada aspek layanan serta aspek lainnya.
Mengingatkan bahwa ibadah kurban bukan sekedar ritual penyembelihan hewan, namun juga penting ihwal keberadaan penerima manfaat, yang dipastikan menerimanya.
Menurutnya daya pikat utama berkurban bersama di Dhompet Dhuafa, terjamin aspek syariahnya. Hal ini memutus keraguan manakala dahulu saat ia berkurban lewat komunitas.
Berkurban bersama Dhompet Dhuafa terjamin dari harga yang sangat terjangkau, dikarenakan hewan kurban langsung dibeli kepada para peternak lokal, yang berada di 11 titik di berbagai daerah di Indonesia.
Hal ini tentunya akan memutus rantai distribusi, dibandingkan Mudhohi membelinya ke pedagang ataupun berkurban lewat komunitas.
Aspek lainnya, hewan kurban lolos aspek quality control sesuai ketentuan ajaran Islam. Pasti jantan sesuai sunnah Rasul serta mengacu kepada ilmu peternakan guna menjaga kestabilan populasi hewan ternak.
Memiliki sistem distribusi yang merata ke berbagai pelosok daerah bahkan ke luar negeri. Seperti ke sejumlah wilayah konflik di Palestina, dan Myanmar yang umat islamnya terdampak.
Kian membuat hati tenang lewat transparansi, berupa laporan lengkap seperti dokumentasi hewan, proses pemotongan hingga distribusi.

Foto : Istimewa
Berbagi Dengan Hati
Katyusha menambahkan, “Ihwal pembagian daging kurban, aku dari awal tak pernah mau menerima, walau aku tahu ada hakku di situ. Alasannya simpel, aku gak pernah kekurangan. Makan daging rutin bahkan kemudian aku batasi, dikarenakan itu tak baik untuk kesehatanku.”
“Selain caraku itu untuk mengkritisi orang-orang yang mampu, terutama Mudhohi yang masih ada saja yang serakah, “bebernya.
Katyusha melanjutkan, “Padahal cara yang bijak yang bisa Mudhohi lakukan, dengan menambahkan bagian daging miliknya ke kaum Dhuafa. Menurut Katyusha perolehan daging kurban para mustahik masih sedikit dikarenakan masih ada wilayah yang minus daging hewan kurban, sementara jumlah kaum dhuafanya sangat banyak. Serta hari panjang ke depan yang harus dilalui. Mereka jarang menikmati olahan daging, bahkan mungkin hanya setahun sekali, kalau kita?, bisa setiap hari, walau tak dianjurkan karena akan berdampak kepada kesehatan.”
“Yang menjadi peer, apakah saat pendistribusian ada mustahik yang terlewat. Lupa didata, atau ada saja kan orang miskin berahlak mulia. Tak maruk atau senang meminta-minta. Mereka lebih memilih diam, lebih memilih berdoa karena tak suka menjual kemiskinan, “imbuhnya.
“Nah, orang-orang yang telah mengambil peran sebagai penanggung jawab, pelaksana akan dimintai oleh Allah pertanggungjawabannya, kelak bila ada mustahik yang terabaikan,”ujarnya.
“Karenanya, aku selalu berpesan kepada Panitia Hewan Kurban untuk membagikan sembelihan tersebut secara adil, dan merata. Aku juga ragu, sering mendengar juga, bahwa masih ada mustahik tak mendapatkan haknya. Ada yang mendapatkan, eh malah tak layak dikarenakan lebih banyak potongan tulang serta lemak, “ungkapnya.
Katyusha menceritakan, Idul Adha kemarin aku dengar langsung lho, ada panitia yang mengeluh serta memberikan larangan agar pengurban fair, tak mengambil daging bagiannya secara diam-diam. Larangan tersebut diucapkan sesaat sebelum Sholat Jum’at bertepatan dengan Perayaan Idul Adha.
“Ini terjadi di sebuah masjid di perkampungan, daerah Tajur Halang, Kabupaten Bogor.
Disinyalir pengurban berkoordinasi dengan salah satu oknum panitia, dengan mengambil bagiannya secara tak patut. Tak dijelaskan apakah mudhohi tersebut mengambil lebih banyak dari haknya atau lainnya, “cetusnya.
Pun masih hangat kejadian viral, oknum panitia kurban di daerah Bekasi
mewajibkan mustahik, mayoritas pemulung untuk membayar daging kurban Rp. 15.000, untuk satu kantung plastik. Dalihnya sih sebagai ganti ongkos potong, karena menurut koordinator, Mudhohi hanya memberikan 3 ekor sapi, tanpa uang untuk jasa penyembelihan hewan kurban.
Perbuatan yang melanggar, tak sesuai syariat dikarenakan daging kurban tak boleh diperjual-belikan, maupun dijadikan upah bagi orang yang menyembelih. Namun jika penyembelihnya merupakan kelompok fakir & miskin hal itu diperbolehkan.
Lewat kejadian di Bekasi, daging kurban akhirnya dimonopoli oleh mereka yang mampu. Terlihat dari video terjadi transaksi jual-beli daging kurban, dikarenakan ada yang membayar untuk beberapa kantung sekaligus.
“Serta masih banyak permasalahan lainnya, ihwal karut-marut ritual ibadah kurban yang sering di blow-up media. Pemerintah harusnya hadir guna memberikan sosialisasi, melakukan pengawasan serta pencegahan agar kekeliruan dari pelaksanaan ibadah, ke depan tak terulang, “tegas Katyusha.

Foto : Wanitaindonesia.co
Ramen Halal Oase Kelezatan Anti-mainstream
Ihwal perayaan Idul Kurban lalu, Katyusha dijamu dengan sajian Ramen halal oleh Sidik Kadarsyah, Marketing Tekko yang menaungi Ramen Ten-Ten, di Gajah Mada Plaza.
Menurut Sidik selama puasa, perayaan Hari besar Islam seperti Lebaran, dan Idul Adha, gerai senantiasa ramai pengunjung.
Menempati lantai 2 yang kekinian Mal sudah bersalin rupa menjadi lebih menyenangkan. Tak terpengaruh, walau di lokasi yang sama ada pengusaha kuliner serupa serta kuliner lain, keriaan di Ramen Ten-Ten seringkali hadir lewat interaksi pembeli yang didominasi oleh kelompok Gen-Z, dan Milenial.
Sidik menambahkan, “Maraknya pengunjung di gerai kami khususnya pada perayaan hari besar keagamaan, mereka mengaku jenuh akan rutunitas sajian yang itu ke itu saja. Keluhan serta kebutuhannya senada, ingin mencari sajian ringan yang khas, bercitarasa segar tanpa larutan santan. Pilihan utamanya seporsi ramen panas.”
“Varian toping berupa ayam, dan daging daging yang lekat dengan citarasa gurih alami dari juicy daging, sehingga tak membuat penikmatnya merasa neg.
Selain mengedepankan kualitas sajian paripurna dari ramen homemade, “terang Sidik.
“Kaldu spesial dihasilkan dengan proses memasak perlahan yang akan menghasilkan kaldu alami. Aroma sedap miso nyata serta kian sempurna dengan penambahan bumbu khas dapur Ramen Ten-ten, “imbuhnya.

Foto : Wanitaindonesia.co
“Yang menarik, selain harga yang terjangkau, kami memberikan tambahan ramen secara cuma-cuma tanpa syarat. Tentunya pengunjung kami merupakan tipikal konsumen cerdas. Mereka menghindari food waste.
Karenanya setiap porsi ramen, kaldunya tersaji dalam takaran berlimpah. Rasanya yang lezat seringkali membuat pengunjung kalap untuk menghabiskan sisa kaldu dengan meminta tambahan ramen, “ucapnya.
Islah pramusaji menambahkan, “Sajian spesial di sini berupa ramen kuah, dan ramen kering. Pelengkap berupa toping daging sapi, dan ayam yang dimasak sebentar untuk mempertahankan Juicynya. Selain telur mata sapi serta daging ayam cincang.
Varian ramen original, Tori Miso Men merupakan menu favorit pengunjung.”
“Suasana bersantap nan guyub seringkali tercipta, dari tipikal pengunjung Gen – Z yang datang berkelompok. Ada yang niatnya hanya untuk menikmati ramen, namun ada juga sembari melakukan aktivitas bersama circlenya. Ini biasanya berlangsung pada hari sekolah, setelah usai jam sekolah.
Untuk week end serta libur nasional didominasi oleh pengunjung keluarga, “imbuhnya.
“Selain Ramen, ada beragam menu Jepang untuk mengakomodir kebutuhan pelanggan kala menanti pesanan. Ada juga pelanggan yang merasa tak cukup, bila datang ke sini hanya untuk menyantap semangkuk ramen panas saja. Pilihannya berupa Rice Chicken Curry yang khas dari aroma sedap kari Jepang, Charsiu Tori Aburi serta Yaki Gyoza, “ujar Islah.
“Penyajiannya pun memerhatikan standar dengan mengutamakan pelayanan serta kelezatan nan istimewa, “pungkasnya.




