wanitaindonesia.co – Seringkali jika perempuan biseksual menjalin hubungan dengan laki-laki hetero, sebagai pasangan, ia dipaksa untuk melepaskan identitas biseksualnya. Begitu sebaliknya, jika perempuan bi menjalin hubungan dengan perempuan lesbian, identitas biseksualnya akan terdegradasi oleh pandangan masyarakat luar.
Menjadi Gay adalah hal yang tak mudah dilakukan di negara seperti Asia. apalagi menjadi biseksual. Masih PDKT saja, biseksual sering jadi sasaran empuk toxic relationship. Ini mulai dari stigma, hingga pasangan yang bisa dengan mudah cemburu pada siapapun.
Biseksual mana pun pasti merasakan derita yang sama, belum dimulai sudah kena stigma. Bahkan di dalam lingkaran LBGTQ+ sendiri, biseksual seakan menjadi lian.
Salah satu stigma yang kerap diterima adalah tukang selingkuh. Biseksual dan perselingkuhan seperti satu paket yang tak bisa lepas dibahas.
Orientasi seksual seorang bi akan selalu dikaitkan dengan kerakusan. Biseksual sering ‘dikhawatirkan’ bisa mempunyai pasangan lebih dari satu. Padahal untuk memiliki pasangan yang banyak, kamu tidak harus menjadi biseksual.
Definisi biseksual sendiri ialah seseorang yang merasakan ketertarikan emosional atau seksual pada 2 jenis gender, tidak harus disaat yang bersamaan, maupun tidak harus caranya yang sama.
Perselingkuhan atau menjalin hubungan lebih dari satu orang seakan hanya menjadi milik bi semata. Padahal hubungan poligami juga masuk di dalam kategori hubungan yang bercabang.
Kerakusan jadi label tersendiri untuk kelompok bi, sehingga seringkali pandangan ini memicu terjadinya bipobia (ketakutan terhadap orang dengan orientasi biseksual).
Ferena Debineva Peneliti Psikologi Sosial mengenai prasangka termasuk bipobia menjelaskan bahwa prasangka negatif bisa membentuk nilai diri hingga muncul pandangan negatif terhadap suatu kelompok.
“Pobia terhadap manusia tidak pernah sama dengan pobia terhadap benda. Karena manusia memiliki identitas tertentu,” ujarnya pada diskusi IGTV Arus Pelangi.
Ketakutan inilah yang menjadi landasan pelaku toxic relationship untuk melancarkan aksinya. Biseksual memiliki potensi lebih besar menjadi sasaran hubungan yang tak sehat akibat efek samping dari mitos-mitos yang dibentuk masyarakat heteroseksual maupun homoseksual.
Bagaimana potensi itu terjadi
Seringkali jika perempuan bi menjalin hubungan dengan laki-laki hetero, sebagai pasangan, ia dipaksa untuk melepaskan identitas biseksualnya. Begitu sebaliknya, jika perempuan bi menjalin hubungan dengan perempuan lesbian, identitas biseksualnya akan terdegradasi oleh pandangan masyarakat luar.
Ferena memaparkan biseksual sering dipaksa untuk menghilangkan identitasnya ketika memiliki pasangan.
“Misal ketika saya memiliki pasangan female, saya dipaksa mengakui diri sebagai homoseksual begitupun sebaliknya,” kata Ferena.
“Jika saya berada dengan pasangan laki-laki, saya dipaksa untuk mengakui sebagai heteroseksual,” lanjutnya.
Tentu menghilangkan identitas diri dalam sebuah hubungan bisa jadi salah satu tanda bahwa kita sedang atau akan berada pada hubungan yang tidak sehat.
Mitos biseksual yang 50:50 juga kerap saya jumpai. Padahal tidak ada pakem angka dalam orientasi seksual. Gender bisa terbentuk karena kompleksitas dari pelbagai aspek, mulai dari sosial hingga hormonal.
Kemampuan biseksual memiliki ketertarikan pada 2 gender juga kerap ditabrakkan dengan stigma ‘gampangan’ atau ‘bispak’, utamanya pada perempuan dengan biseksual.
Stigma ini mengantarkan pandangan heteroseksual pada perempuan bi sebagai obyek seksual semata. Banyak beredar cerita dari teman perempuan bi saya, yang dipaksa melakukan threesome karena orientasi seksual mereka.
Fantasi laki-laki heteroseksual akan selalu menangkap perempuan biseksual sebagai perempuan yang mau diajak threesome. Sedangkan pada kelompok homoseksual, bi akan diidentikkan dengan kaum main-main, atau tukang ghosting.
Salah satu cerita dialami Keisha (bukan nama asli) dalam perjalanan hubungan romantisnya, ia kerap menjumpai paksaan melakukan hubungan seksual secara threesome, dengan formasi 1 Male, and 2 Female.
Keisha mengaku, sebagai perempuan bi. ia sendiri tidak nyaman jika harus berhubungan seksual dengan 2 orang dalam satu ruangan. Namun, ketika ia menolak, orientasi seksualnya akan selalu diragukan oleh pasangannya.
Berbeda dengan Keisha, Salsa (bukan nama asli) juga mengaku sering dipaksa threesome oleh suaminya, dengan alasan Salsa harus penuhi kebutuhan suaminya yang ingin bercinta dengan dua perempuan, dan hasrat biseksual Salsa agar terpenuhi.
Cerita lain berasal dari pengalaman saya pribadi, ketika saya mengakui diri sendiri sebagai biseksual, hampir setiap laki-laki heteroseksual akan menanyakan kesediaan saya melakukan hubungan seksual threesome.
Saya selalu dituntut untuk memenuhi kebutuhan seksual pasangan saya yang memiliki fantasi threesome, dengan dalih saya juga akan menikmati aktivitas tersebut hanya karena orientasi seksual saya.
Konsep toxic masculinity mungkin terasa begitu kental pada contoh kasus di atas. “Biseksual women dianggap sebagai the gross thing in the world, karena laki-laki heteroseksual gamau threesome 2 laki 1 perempuan. Mereka hanya ingin memuaskan mata mereka. They just want a male gaze,” tutur penulis Magdalene.co itu.
Biseksual sering menjadi sasaran hubungan yang tidak sehat hanya karena stigma dan mitos pada orientasi seksual mereka. Padahal komitmen dan passion semua bersumber dari pribadi masing-masing. Diskriminasi ganda yang sering menghampiri perempuan bi, bisa jadi jebakan awal.
Putus Tali Stigma
Ada banyak cara agar hal ini tidak terus berulang adalah dengan mendengarkan kelompok biseksual, membayangkan interaksi positif dengan kelompok tersebut, dan didik diri sendiri tentang orientasi seksual juga konsen.
Melepaskan diri dari stigma bukan perkara mudah. Ada banyak pekerjaan rumah sebelum menjalin hubungan dengan biseksual. Sebelum mengentaskan diri dari konsen, ada baiknya kita gerus terlebih dahulu pandangan negatif terhadap kelompok tertentu.
Jalin hubungan pertemanan yang positif dengan kelompok bi seperti nge-teh bersama, nonton serial favorit, atau sekedar main game online satu tim.
Istilah open minded pun tak ubahnya boomerang, ia juga bukan penjamin seseorang tidak akan larut dalam stigma. Pun dengan konsen, biseksual juga manusia yang memiliki hati dan pilihan hidup. Maka bertindak sesuai dengan konsensual harus diterapkan dalam hubungan apapun.
Artinya mempelajari konsesual dan mendobrak stigma harus jalan beriringan. Selama ini jarang sekali konsensual dipahami sebagai bagian dari jalinan kasih. Bahkan ketika kita sudah menjadi pasangan pun, tak ada alasan untuk tak terapkan konsen.
Hal paling esensial dalam kehidupan adalah konsen. Menanyakan kesediaan pasangan untuk lakukan ini itu, dengan penuh hormat adalah keromantisan dalam level lain. Karena dengan menerapkan konsen artinya kita menghargai pasangan sebagaimana manusia lainnya.
Biseksual bukan sebuah kebingungan, atau hanya ajang cari perhatian. Rasa yang kami alami adalah identitas valid. Kalau Tere liye bilang, boleh jadi jodoh kita adalah teman sendiri atau tetangga sebelah rumah. Kalau kata saya, bisa jadi kita gak dapat jodoh yang toxic, bisa juga tidak.
Ini tinggal bagaimana kita menyikapi dengan tegas perbuatan buruk pada hubungan. Tidak memaksakan apapun termasuk berhubungan seksual secara threesome hanya karena orientasi seksualnya, atau meragukan orientasi pasangan hanya karena tidak mau melakukan hubungan bertiga.
Saya berharap dari tulisan ini, pembaca bisa mengetahui seberapa awal bibit toxic relationship didapati teman-teman dengan orientasi seksual tertentu. Seberapa kompleks permasalahan mitos ini mempengaruhi perlakuan masyarakat pada biseksual. Juga bagaimana kita temukan solusi praktis untuk kondisi demikian.
Dengan begitu, stigma terhadap biseksual tak lagi ada, dan paksaan threesome tak lagi terdengar.