Site icon Wanita Indonesia

‘Besok Kami Makan Apa?’ Derita Pekerja Rumah Tangga Saat Pandemi

‘Besok Kami Makan Apa?’ Derita Pekerja Rumah Tangga Saat Pandemi

wanitaindonesia.co“Besok kami makan apa?,” pertanyaan ini saya ulang setiap harinya setelah saya di PHK, lalu terkena Covid, dan saat ini saya dan suami menganggur. Anak saya sudah 7 bulan tidak bisa membayar sekolahnya.

Tiba-tiba, suatu malam majikan saya mengirimkan pesan dalam WhatsApp yang isinya sangat mengagetkan saya: saya di PHK.

Bagi buruh kecil seperti kami, pesan ini menjadi sesuatu yang sangat menakutkan, di PHK, tak punya uang atau penghasilan dan tiap harus berpikir: besok kami makan apa?. Tapi apa boleh buat, buruh seperti kami harus menerima kondisi ini.

Penyebabnya karena pandemi. Padahal saya telah bekerja menjadi Pekerja Rumah Tangga (PRT) selama 30 tahunan, yaitu sejak masih usia 14 tahun.

Pertama kali, saya bekerja di Jakarta selama 4 tahun. Kemudian saya di jodohkan oleh orang tua dan menikah. Ketika memiliki 1 anak, saya kembali bekerja menjadi PRT di Semarang. Awalnya bekerja di satu majikan, kemudian bekerja di 3 majikan secara part time. Saya tekuni dalam bekerja menjadi PRT, untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Begitulah rutinitas saya selama puluhan tahun.

Maka, di PHk secara tiba-tiba bukanlah sesuatu yang saya bayangkan sebelumnya. Nama saya Suryati, usia 45 tahun. Memiliki 2 anak (laki laki 25 tahun dan perempuan 17 tahun). Anak perempuan masih sekolah kelas 3 SMA di Semarang.

Disaat virus corona muncul di Indonesia khususnya di Semarang, pekerjaan saya mulai terdampak. Kabar melalui WhatsApp yang memberikan kabar kalau saya diminta libur sementara dengan alasan karena keadaan covid dan usahanya sepi itulah yang mengagetkan saya. Sejak itu saya tak bekerja disana lagi

Karena tidak ada pemasukan pasti, sedangkan saya harus memenuhi kebutuhan setiap hari, saya berinisiatif berjualan nasi goreng, sosis bakar dan es. Awalnya ramai, namun karena rumah saya ada di desa banyak warga yang dirumahkan dan di PHK, warung saya sepi pembeli. Di saat itulah saya mulai kebingungan: apa yang bisa saya lakukan?

Di tengah pandemi ini, setelah saya mencari pekerjaan, akhirnya saya mendapatkan pekerjaan sebagai PRT lagi, yang kerja dari pagi sampai siang. Saya sangat bersyukur. Namun baru dua bulan bekerja, saya sakit dan tidak bisa bekerja.

Kemudian suami juga ikut sakit, positif Covid-19. Kami menjalani isolasi mandiri kurang lebih satu setengah bulan. Saya merasa sangat sedih karena selama menjalani karantina mandiri pengurus kampung seperti kurang peduli.  Salah satu warga ada yang mengusulkan kepada pihak RT agar keluarga saya agar mendapatkan bantuan karena terdampak covid. Namun karena tidak ada data pribadi, kami sebagai warga yang positif, tidak bisa mendapat bantuan. Tapi syukurlah saya memiliki organisasi Serikat PRT Merdeka serta teman-teman yang perhatian dan  memberikan bantuan baik sembako, vitamin dan lainnya.

Masih banyak persoalan di sekitar pandemi yang akan saya alami. Suami jarang bekerja, biaya sekolah anak selama 7 bulan belum terbayar, juga biaya buku sekolah. Meskipun sekolah di rumah tetap saja, tetap harus mengeluarkan biaya seperti internet.

Dengan kondisi seperti ini saya harus tetap kuat, dan bertanya setiap hari: besok kami makan apa?. Sekian cerita saya. (wi)

Exit mobile version