wanitaindonesia.co – Setelah saya melahirkan, saya kedatangan banyak orang yang menjenguk. Yang membuat saya sedih adalah, banyak yang menjadikan pengalaman yang saya alami sebagai bahan pembanding dan intervensi
Setelah melahirkan, saya baru mendengar ternyata ada istilah namanya selapan. Selama ini, hanya kata nifas yang sering saya dengar.
Nifas yang saya tahu adalah waktu 40 hari dimana seorang perempuan muslim yang baru melahirkan tidak bisa melakukan ibadah-ibadah wajib seperti halnya shalat ataupun puasa.
Pada masa ini lah, seorang ibu mulai berkoordinasi dengan tubuh dan bayinya untuk melaksanakan pola-pola pengasuhan. Termasuk kaitannya dengan pemberian Air Susu Ibu/ ASI, perawatan bayi yang sedang proses mengenal dunia, hingga pemulihan fisik dan juga psikis.
Sebenarnya saya adalah seorang perempuan yang tidak ingin menikah awalnya. Saya juga tidak pernah mengurus bayi sebelumnya. Juga tidak pernah berpikir tentang kehamilan, menyusui dan lainnya.
Sampai suatu ketika, ternyata saya menikah dan melalui hal-hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya: saya hamil dan melahirkan. Saya bisa melaluinya dengan selamat, Alhamdulillah atas kuasa Tuhan.
Selama dua pekan ke belakang ini, saya menjalani status baru sebagai ibu. Rasanya entah seperti apa. Ada bahagia, namun tak dipungkiri juga ada rasa sedih.
Jumat sore pukul 6 lahirlah bayi kami, sang pelita hati. Pukul 8 malam, kami sudah kembali dari Klinik Persalinan. Saya bahagia karena anak kami sangat baik hati, ia mendengarkan seluruh afirmasi saya sejak dalam kandungan, hingga ia dapat lahir dengan selamat dan tanpa jahitan vagina yang selama ini sangat saya takutkan.
Namun ada sesuatu yang mengganjal. Rasanya tubuh saya teramat sakit, apalagi di bagian area vagina hingga dubur saya. Perut saya rasanya seperti dipres dan dihujam jarum, sakit sekali. Setelah saya pelajari, ternyata itu adalah kontraksi rahim untuk proses pemulihan kembali ke ukuran semula.
Keesokan harinya, mulai berdatanganlah orang-orang ke rumah. Selain berniat menjenguk, ternyata kedatangan mereka, yang membuat saya sedih adalah, menjadikan pengalaman yang saya alami sebagai bahan membanding-bandingkan dan mengintervensi.
“Loh kok vaginanya sakit, tapi gak dijahit.”
“Kakimu lurus aja, jangan gerak-gerak, nanti varises kau.“
Sementara yang saya rasakan, sangat tidak nyaman untuk meluruskan kaki saja, saya ingin duduk dengan cara yang paling nyaman bagi vagina dan seluruh tubuh saya.
Intervensi juga menyasar ke Ibu saya, sehingga membuat Ibu kesal pada saya dan menganggap saya keras kepala, tidak bisa diatur.
“Mami kok gak pakein si Nana pilis?”
“Si Nana kok tidurnya gak nyender? Nanti darah putihnya naik loh, bisa mati,” tetangga yang lainnya berkata pada Ibu saya.
“Si Nana kok gak dipakein kemben, nanti perutnya jelek lah,” kata tetangga lain lagi.
Ibu saya sedang sibuk mengurus bayi kami kala semua omongan itu meluncur pada kami. Sementara, suami saya sedang berusaha menenangkan rasa sakit yang saya hadapi sekaligus memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang terlupa saat itu. Tapi, ‘hujan tanya’ itu belum pula reda:
“Hari ke tujuh, Nana kok udah pakai celana.”
“Si Nana kok udah duduk di bawah, mana boleh, duduknya di tempat tidur aja lah.”
Kok begini, begitu.
Bukankah seharusnya saat masa pemulihan kalimat yang dilontarkan adalah, “Gapapa, nanti segera pulih. Buat dirimu yang paling nyaman aja.”
Sudah memasuki hari ke 15 pasca persalinan pun, masih ada juga yang komentar:
“Kau cebok pake sirih, biar enak, nanti bisa bisa suamimu selingkuh kalau gak enak.”
“Kakimu lurus aja, biar rapat lagi, kita ini kan untuk suami, gara-gara kayak gitu, suamimu bisa cari perempuan lain.”
Saya tidak peduli hal itu, saat ini yang ada dalam benak saya adalah, bagaimana caranya agar segera pulih jiwa raga, tetap sehat jiwa saya dan bersemangat mengurus bayi.
Persoalan suami nanti begini begitu, kalau suaminya memang sudah tukang selingkuh, sejak awal bahkan sebelum nikah, ia akan selingkuh. Dan saya sudah tidak peduli dengan hal itu.
Sampai sejauh ini, saya bersyukur pada diri saya karena bisa waras menghadapi perubahan 180 derajat seluruh hidup saya. Meski, seringkali banyak orang berkata-kata dengan alasan mengingatkan, namun sebenarnya menyakiti dan membuat orang lain kepikiran.
Belum pulih saya dari rasa sakit melahirkan, kalimat begini dan begitu terus berdatangan, tidak hanya mengomentari diri saya, bayi saya pun ikut dikomentari.
“Kok kayak gini, gak kayak gitu melahirkan.”