WanitaIndonesia.co, Bogor – Sering disebut sebagai pahlawan, namun upahnya jauh dari sepadan. Terkhusus mereka yang berstatus sebagai guru honorer, baktinya dalam mendidik calon penerus bangsa, sering kali tak sebanding dengan upah yang diterima. Saat orang-orang di perkotaan sibuk membelanjakan uang THR-nya untuk persiapan Idulfitri, apalah daya para guru honorer di pelosok-pelosok perkampungan. Padahal, perjuangan mereka begitu besar, hingga tertatih-tatih tak kenal letih menjadi garda terdepan mendidik anak bangsa.
Terlalu jauh untuk memikirkan dapat tunjangan, gaji yang harusnya diterima setiap bulan saja sering kali mandek hingga tiga bulan baru terbayarkan. Padahal, mereka juga punya keluarga di rumah yang perlu dipenuhi kebutuhan dasarnya.
Berkat kepedulian dari para donatur yang menyisihkan hartanya, Dompet Dhuafa menghimpun ratusan juta dana untuk diberikan sebagai THR bagi para pejuang keluarga, termasuk guru-guru honorer. THR sebesar Rp1.000.000 (satu juta rupiah) untuk guru honorer tersebut secara bertahap mulai disalurkan pada 4 April 2024.
Sekolah Dasar Negeri (SDN) Waringin di Kabupaten Bogor menjadi sekolah pertama yang didatangi oleh Tim Dompet Dhuafa. Sekolah ini berdiri sejak tahun 1984 dengan empat ruang belajar yang disekat untuk enam tingkatan kelas. Di sekolah ini ada 4 dari 7 guru yang berstatus sebagai guru honorer. Seperti juga yang dirasakan oleh guru-guru honorer lainnya, keempat guru ini hanya mengandalkan gaji dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Tentu, ini bukan nominal yang besar untuk mendukung kesejahteraan mereka dan keluarganya di rumah.
Untuk menyiasati kebutuhan keluarga, sebagian dari mereka ada yang memiliki pekerjaan sampingan seperti berjualan ataupun pekerjaan serabutan lainnya. Seperti yang dilakukan oleh Sri Fatmawati (34) dan Wawan Hendrawan (52). Sedangkan sebagian lainnya memilih untuk membuka les privat di rumah atau ke rumah-rumah. Ini yang dilakukan oleh Maulidya (24) dan M Hilmi Al Haidar (23).
Bu Lidya, sapaan masyarakat kepada Maulidya, mengaku bangga menjadi guru di sekolah kecil ini. Bahkan, ia dengan tegas menyatakan bahwa menjadi guru di sini adalah cita-citanya. Meski ia bersekolah di Jakarta, bahkan kuliah di kampus swasta ternama di Jakarta, namun cita-citanya sungguh mulia, yakni ingin mengabdi jadi guru di pelosok negeri.
Bu Lidya bercerita bahwa mula-mula ia mendapat tugas magang dari kampus di tiga sekolah berbeda. Dua di antaranya berada di kota, terakhir di SDN Waringin. Sangat mungkin bagi dirinya untuk melanjutkan menjadi guru di dua sekolah di Jakarta yang ia tempati magang itu. Bahkan, salah satu sekolah swasta ternama di Kebayoran Baru sempat menawarinya menjadi tenaga pengajar, namun ia tetap memilih menjadi guru di SDN Waringin, meskipun dengan status honorer.
“Saya dari kecil memang punya cita-cita jadi guru. Kebetulan dulu waktu tugas magang penempatannya di sini. Saya senang dengan masyarakat di sini, anak-anaknya, guru-gurunya, lingkungannya. Pokoknya saya setelah lulus, harus jadi guru di sini,” kata perempuan bergelar sarjana pendidikan guru SD tersebut.
Berbeda dengan Pak Wawan yang sempat kecewa dengan profesi guru. Menjadi guru seakan tak memiliki kesejahteraan cukup, menjadikannya menanggalkan profesi itu dan memilih untuk menjadi karyawan di perhotelan. Hanya beberapa tahun berlangsung, meski mendapatkan gaji yang jauh berlipat lebih besar dibanding menjadi guru, namun ada hal hilang dari dirinya. Yaitu waktu untuk keluarga dan siswa-siswa sekolah. Seakan jiwanya sudah tertaut dengan senyuman para pelajar. Akhirnya pada tahun 2005, ia kembali menelusuri panggilan hatinya, yaitu menjadi guru honorer di SDN Waringin, hingga kini.
“Kebanggaan saya itu saat siswa-siswa yang saya ajar dulu, sekarang bisa sukses. Pada lulus kuliah, kerja di perusahaan, menjabat di perusahaan. Nggak pernah saya ada iri gaji mereka jauh lebih tinggi dari saya. Bahkan di situ kebanggaan saya,” ucap ayah dua anak itu.
Begitulah sepenggal kecil kisah guru honorer. Setiap mereka memiliki alasan besar, mengapa mereka sudi mengabdi padahal gaji tak tinggi. Ternyata bukan lagi gaji yang mereka cari, melainkan kepuasan hati berhasil mengantarkan siswa dan siswi menggapai cita-cita yang dimimpi. Mereka mungkin tak mengharapkan THR dari orang lain, namun kita lah yang membutuhkan sosok mereka-mereka ini.
THR senilai satu juta rupiah masih sangat kecil untuk mengganti pengabdian mereka yang begitu besar. Sahabat Baik, masih ada kesempatan bagi kita sebelum Bulan Ramadan berakhir untuk ikut ambil bagian dari program kebaikan ini. (adv)