Site icon Wanita Indonesia

Antara Saya dan Pram, Cinta Dalam Romansa Pekerja

Antara Saya dan Pram, Cinta Dalam Romansa Pekerja

wanitaindonesia.co Aku adalah buruh yang kala itu menjadi orator dalam sebuah aksi buruh jalanan. Dan ia, adalah kuasa hukum serikat buruh, lalu kami jatuh cinta. Tak lama kemudian ia mati tertembus peluru timah panas ketika kami sama-sama melakukan aksi para pekerja.

Aku sedang memperhatikan seorang perempuan yang mengenakan dress berwarna hitam selutut. Ia setengah berjongkok, menghadap gundukan tanah yang masih basah. Jemari yang lentik itu meraba batu nisan yang ada di hadapannya. Gerakannya terhenti cukup lama, saat ujung jemari itu mengeja sebuah nama. Ia menunduk, sesekali  tangannya mengusap airmata yang tersisa. Perempuan itu lalu beranjak setelah menaburkan satu keranjang bunga pada permukaan makam.

Yunita berjalan pelan menuju sedan hitam yang terparkir di luar area makam. Aku bergegas, tidak ingin melewatkan waktu untuk dapat berbicara dengannya.

“Yunita,” aku berlari kecil menghampirinya.

“Maaf, mengganggu. Nama saya Rahma.”

Aku mengulurkan tangan. Yunita bergeming, hanya angin yang menyambut uluran tanganku. Aku menariknya kembali.

“Ini …,” aku menyerahkan sebuah selendang sutra berwarna biru muda.

“Titipan dari Mas Pram,” lanjutku saat melihat perempuan itu mulai membuka kacamata hitamnya.

Tangannya terulur ragu. Jemarinya gemetar saat meraih selendang itu.

“Maaf, aku sudah berusaha menghapus noda darahnya, tapi tidak bisa. Saat timah panas itu menembus dadanya, ia gunakan seledang itu untuk membalut lukanya,” kataku menarik napas. “Ia mau kau menyimpannya kembali,” aku melanjutkan.

Yunita menghela napas panjang.

“Keras kepala.” Yunita menggerutu. Ia berbalik arah dan kembali berjalan. Baru tiga langkah meninggalkanku, ia berhenti dan menoleh.

Aku tersenyum, kecut.

“Engkau dulu membersamai cintanya dan aku kini membersamai perjuangannya. Namun, kau pun tentu tahu bahwa mas Pram lebih memilih perjuangannya ini daripada cintanya.”

“Laki-laki bodoh.”

Yunita berlalu. Suara deru mesin terdengar, perempuan itu meninggalkan area pemakaman. Aku menghela napas, pelan sambil memejamkan mata.

“Permintaanmu sudah kulaksanakan, Pram,” bibirku tergetar menggumam.

Ingatan tentang Pram memberiku energi untuk melihat ketika kami bertemu.

“Bagaimana ini, semakin banyak buruh yang diberhentikan karena alasan mangkir dan dianggap tidak loyal terhadap perusahaan.”

Zainal masuk ke dalam ruangan sambil melemparkan beberapa kertas ke atas meja. Aku meraih kertas itu, memperhatikan dengan seksama.

“Mereka beralasan aksi buruh telah merugikan keuangan perusahaan yang dihitung mencapai dua miliar. Dan parahnya, semua yang diberhentikan tidak diberi pesangon. Ini melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, mbak,” Zainal mulai menyalakan sebatang rokok.

Aku mendengkus, kesal. Beberapa hari ini kegiatanku memang lagi terfokus pada aksi buruh di PT. Berkah Jaya. Perjuangan menuntut hak buruh yang tidak dibayarkan oleh perusahaan dengan alasan perusahaan sedang pailit.

“Belum ada keputusan pailit dari pengadilan terhadap kondisi PT. Berkah Jaya.”

Aku meletakkan kembali kertas yang di bawa Zainal. Kertas yang berisi daftar nama buruh yang dirumahkan secara sepihak oleh PT. Berkah Jaya, yang semakin bertambah panjang saja setiap minggunya.

“Keuangan perusahaan tidak benar-benar terganggu, mereka justru mengalihkan pekerjaan produksi pada pekerja out sourcing. Kegiatan produksi tetap berjalan normal. Ini hanya upaya perusahaan untuk menekan psikologis buruh yang ikut melakukan aksi buruh.”

Laki-laki lulusan sekolah hukum yang banyak membantu Pram selama ini, kembali bersuara. Aku mengangguk membenarkan perkataan Zainal.

“Perusahaan menjebak buruh dalam kondisi yang tidak enak. Tentu mereka akan menjadi dilema dalam melanjutkan perjuangan menuntut hak mereka karena terancam tidak punya pekerjaan.  Mereka dibuat tidak berdaya.”

“Ya, yang lebih menggelikan mereka menawarkan kesepakatan kepada para buruh yang dipecat dengan tawaran murahan. Mereka akan menerima kembali buruh yang diberhentikan namun dengan syarat masa kerja akan dihitung dari awal dan mereka tercatat sebagai karyawan outsourcing. Artinya, mereka tidak bisa lagi menuntut hak pesangon atau hak lain selayak karyawan tetap. Ini akal-akalan kaum kapital.” Zainal menahan geram.

Aku memejamkan mata, perjuangan masih panjang. Teringat kembali pesan Mas Pram sebelum timah panas menembus dadanya saat aksi buruh dua minggu lalu itu.

“Aku memilihmu karena aku tahu kamu perempuan yang kuat. Engkau yang akan meneguhkan perjuanganku. Mereka kaum marginal, dengan kondisi ekonomi yang kurang mampu, sebagian besar tidak berpendidikan, tidak paham tentang hukum, tentang undang-undang.”

Mas Pram menggenggam tanganku erat. Lelaki yang mengabdikan dirinya untuk menjadi pengacara buruh itu menikahiku lima belas tahun lalu. Kami berjumpa dalam sebuah aksi buruh.

Aku adalah buruh yang kala itu menjadi orator dalam sebuah aksi buruh jalanan. Dan ia, adalah kuasa hukum Serikat Buruh Indonesia di Jawa Timur. Kami akhirnya sering berdiskusi dan bertukar pikiran. Kami memiliki kecenderungan yang sama, memperjuangkan hak buruh yang kerap kali ditindas oleh perusahaan yang pongah dan sok berkuasa.

“Jika engkau menerimaku, aku tidak akan bisa menjanjikan kehidupan yang nyaman kepadamu. Mungkin aku tidak akan seperti pengacara lain yang berlimpah kemewahan dengan kehidupan yang mapan. Aku telah mengabdikan diri untuk menjadi pengacara probono, mendampingi mereka yang membutuhkan bantuan hukum,”  Pram melanjutkan.

“Selendang sutra tanda mata darimu

Telah kuterima sebulan yang lalu

Selendang sutra mulai di saat itu

Turut serentak di dalam baktiku”

Sebuah lagu terdengar sayup-sayup dari ruangan lain. Lagu favorit yang selalu menemani Mas Pram saat menyusun gugatan. Lagu yang selalu mengingatkan suamiku bahwa pengabdiannya kepada kaum marjinal dan cintanya kepada sang pemilik selendang sutra biru tidak bisa berjalan beriringan.

Yunita dari golongan berada. Mereka saling jatuh hati saat masih kuliah. Sama-sama menggeluti dunia hukum, namun kelas mereka berbeda. Yunita banyak membela perkara kalangan kaum menengah atas, sedangkan Pram berfokus pada masyarakat akar rumput.

“Besok kita akan ke Pengadilan Hubungan Industrial untuk mengajukan gugatan. Ini langkah konkrit yang bisa kita upayakan untuk membantu buruh mempertahankan haknya. Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan secara sepihak oleh PT. Berkah Jaya itu tidak sah.”

Aku menjejak kembali pada realita.

“Kita juga harus membantu buruh melawan gugatan Perdata PT. Berkah Jaya karena melakukan aksi  mogok yang dilakukan bagian hak dasar buruh, terlebih jika dilakukan sesuai undang-undang,” lanjutku yang diiringi anggukan dari Zainal.

“Ya, perusahaan telah banyak melanggar ketentuan udang-undang.” Zainal menyahut.

Obrolan kami terhenti saat sesosok perempuan berdiri anggun di depan ruangan kerja kami yang sempit ini.

“Aku akan membantu kalian dalam perkara Perdata melawan PT. Berkah Jaya.” Suaranya tegas membuat keningku berkernyit. “Aku akan menemanimu, menggantikan Pram dalam perjuangan kalian,” lanjutnya.

Sebagai pengacara yang baru belajar beracara tiga tahun ini, pengalamanku tidak sebaik mas Pram. Itu ingatanku tentang mas Pram

Tiba-tiba Yunita mengulurkan tangan, aku menyambutnya dengan hangat.

“Kau perempuan beruntung bisa menemani perjuangannya.”

Ia menggenggam tanganku.

Exit mobile version