wanitaindonesia.co – Kolom komentar di medsos tak hanya berisi komunikasi ringan yang menghangatkan, tapi juga hujatan, omelan, atau sekedar komentar sinis. Fitur anonimitas di dunia maya digunakan sebagai “tameng” agar seolah bebas mengungkapkan apapun yang diinginkan seolah tanpa konsekuensi.
Di berbagai platform media sosial (medsos) seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan Youtube, pengguna diberi fasilitas untuk berkomunikasi secara terbuka melalui kolom komentar. Selain meneguhkan jati diri kita sebagai makhluk sosial dengan menjaga komunikasi walau terpaut jarak dan ruang, kolom komentar juga bisa dipakai sebagai ladang diskusi dan apresiasi.
Meski begitu, kolom komentar sering ditemui tak hanya berisi komunikasi ringan yang menghangatkan hati, tapi juga hujatan, omelan, atau sekedar komentar sinis.
Fitur anonimitas di dunia maya digunakan sebagai “tameng” agar bebas mengungkapkan apapun yang diinginkan tanpa perlu mempermasalahkan konsekuensi. Ilusi rasa aman dan identitas yang tersembunyi di balik layar ini membuat para pengguna mudah lupa akan batas-batas terkait etika, empati, dan kebebasan berekspresi, seakan mereka tidak sedang berinteraksi dengan manusia lain yang juga punya perasaan.
Bagi pelaku, cercaan dan komentar negatif tak lebih dari sekedar karakter yang diketik di dunia maya. Namun bagi si korban rundungan, komentar-komentar tajam tersebut tak hanya menyakiti hati, namun juga mengacaukan persepsi atas dirinya sendiri dan relasi korban dengan lingkungannya.
Tidak semua orang sanggup menjaga ketenangan kondisi mentalnya jika setiap hari dicerca kritik keras dan hinaan. Fenomena ini sepertinya tidak tampak akan membaik dalam waktu dekat, mengingat semakin luasnya penggunaan sosial media di berbagai lapisan masyarakat.
Dari hasil riset Broadband Search (2020), terdapat kurang lebih 36.5% orang yang pernah menjadi korban cyberbullying dengan angka kasus yang meningkat dari tahun ke tahun.
Konon katanya seorang manusia itu akan menunjukkan sosok dirinya yang “asli” kalau diberi topeng. Apakah ini berarti para netizen yang anonim ini aslinya berkarakter dengki dan jahat? Tidak selalu.
Sebetulnya, mengenakan mantel anonim sah-sah saja. Tak jarang orang-orang menggunakan nama lain atau memiliki lebih dari satu akun (disebut alter) dengan tujuan agar bisa lebih terbuka mengungkapkan pendapatnya tanpa merasa sungkan, apalagi jika pendapatnya berseberangan dengan orang lain. Di sini, anonimitas bisa jadi alat untuk menyuburkan keberagaman ide dan kebebasan berpendapat.
Tidak semua komentar dan interaksi harus bernada ceria; kalau memang perlu mengkritik, kritiklah.
Tapi coba, diksimu diringankan dan tanyakan pada diri sendiri: apakah komentarmu sifatnya membangun? Apakah si penerima komentar akan sakit hati kalau membaca? jika kebenaranmu disampaikan dengan tulus dan benar, maka untuk apa lagi menjadi anonim?