Wanitaindonesia.co, Jakarta- Anggota Komisi IV DPR RI mengaku miris mendengar paparan dari kalangan asosiasi perikanan budidaya, perihal perjalanan nasib para petambak udang Karimunjawa, yang kini harus berhenti beroperasi dan bahkan ada yang menjadi terdakwa kasus pencemaran lingkungan. Anggota DPR RI pun mengajukan pertanyaan tentang kemungkinan grand design di balik serangkaian peristiwa yang menimpa para petambak.
Perasaan miris itu diungkap tegas oleh anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Endang Setyawati Thohari dan Slamet dari F-PKS, dalam kegiatan Audiensi Komisi IV dengan sejumlah asosiasi perikanan budidaya serta petambak udang Karimunjawa di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, pada Senin (24/6/2024).
Audiensi itu dipimpin Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Budhy Setiawan dari Fraksi Partai Golkar dan dihadiri Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) Profesor Rokhmin Dahuri, Wakil Ketua MAI Budhy Fantigo, Ketua Umum Forum Udang Indonesia (FUI) Budhi Wibowo, Sekjen FUI Coco Korkakin, Direktur Eksekutif Shrimp Club Indonesia (SCI) Rully Setya Purnama, pengurus pusat SCI Andi Tamsil, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Menggugat Ahmad Goenawan, serta wakil petambak udang Karimunjawa, yakni Sugeng Cahyono dan Subroto.
“Saya merasa sangat terkesan bahkan miris mendengarkan cerita ini (para petambak Karimunjawa). Namun saya merasa perlu untuk menanyakan, apakah para petambak ini memang sudah memilikii izin saat membuka lahan tambak di sana. Sebab, kalau petambak tidak memiliki izin, kami akan sangat kesulitan untuk memberikan bantuan apapun (selaku anggota dewan),” ujar Endang Setyawati Thohari.
Terkait pertanyaan Endang Thohari itu, Wakil Ketua MAI Budhy Fantigo menjelaskan bahwa para petambak udang di Karimunjawa, yang jumlahnya mencapai 23 orang itu, sejak 2017, saat pembukaan lahan tambak dilakukan, telah mengantongi sebagian besar dari bentuk perizinan yang diperlukan. Bahkan, banyak dari mereka telah telah menyelesaikan 75% dari seluruh persyaratan perizinan tambak udang. Dimulai dari izin akte usaha, NIB, NPWP, OSS, KBLI, izin lingkungan, Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), pernyataan SPPL, pernyataan K3L, pernyataan standar usaha, termasuk pernyataan tata ruang, dan juga dokumen-dokumen terkait groundcheck oleh BTN saat pembukaan lahan.
“Izin yang belum dikantongi petambak tinggal empat, yakni Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan pengelola Balai Taman Nasional (BTN) Karimunjawa, Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL), dan Cara Berbudidaya Ikan secara Baik (CBIB). Jadi kami merasa sangat keberatan jika ada media massa yang mengutip pernyataan siapapun, yang menyebut bahwa petambak Karimunjawa melakukan kegiatan budidaya secara ilegal. Mohon ditarik dan berhenti menyatakan bahwa petambak itu ilegal,” tandas Budhy Fantigo.
Apalagi, Budhy Fantigo menegaskan, belum dikantonginya ke-4 izin itu terjadi bukan lantaran kelalaian petambak. Pengajuan izin yang dilakukan para petambak itu, sambung dia, terganjal tidak adanya Informasi Tata Ruang (ITR). “Padahal, ITR itu menjadi rujukan bagi para petambak agar bisa mendapatkan ke-4 izin lanjutan tersebut,” tuturnya.
Diketahui, Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memiliki kewajiban untuk menyampaikan ITR secara terbuka kepada masyarakat. Hal tersebut, menurut Budhy Fantigo, demi memudahkan para pelaku usaha dalam mengurus perizinan.
Namun kenyataannya, Sekretaris Daerah Jepara Edy Sujatmiko selaku ketua tim terpadu yang membawahi Dinas PUPR memutuskan untuk tidak melakukan input ITR secara online. Akibatnya, petambak tidak bisa mengakses informasi peruntukan tata ruang bagi keperluan pengajuan izin usaha budidaya di Karimunjawa.
Situasi yang berkembang ketika itu, mendorong seorang tokoh petambak yang dikenal vokal dan berani dalam memperjuangkan hak para pengusaha budidaya, yakni Sutrisno, menggugat Sekda Jepara di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), pada Oktober 2019. Dan setelah upaya Peninjauan Kembali (PK) Sekda Jepara ditolak majelis hakim Mahkamah Agung (MA), pada 2022, majelis hakim memutuskan petambak memenangkan perkara. Majelis Hakim MA mewajibkan Sekda Pemkab Jepara untuk menerbitkan izin yang dibutuhkan para petambak. Hanya saja, sampai dengan terhentinya kegiatan tambak udang Karimunjawa, perizinan yang dimaksud tetap tidak pernah diberikan.
Pahlawan jadi Pesakitan
Budhy Fantigo di hadapan anggota Komisi IV DPR-RI memaparkan, meskipun masih dikelola secara tradisional dan turun-temurun, perikanan budidaya, termasuk tambak udang, sudah eksis di Karimunjawa sejak 1990-an. Barulah pada 2017, muncul tambak udang vaname yang dikelola semi intensif. Dalam perkembangannya, terdapat sebanyak 33 titik lahan tambak udang di sana.
Keberadaan tambak-tambak udang Karimunjawa kemudian diketahui memberi dampak positif yang luar biasa bagi kehidupan warga Karimunjawa. Kapasitas produksi udang yang mencapai 1.600 ton atau senilai Rp131 miliar per tahun, berhasil menggerakkan roda perekonomian daerah di Karimunjawa. Tak kurang dari 1.200 tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung terserap dengan baik di sektor usaha rakyat budidaya udang.
Tak hanya itu, sebanyak 70 persen dari total penggunaan daya listrik yang dipasok PLN di Karimunjawa diserap oleh para petambak udang. Diketahui, sebelum adanya kegiatan tambak udang vaname, PLN hanya mengoperasikan listrik selama 12 jam sehari, yakni mulai malam hingga pagi hari. Namun sejak keberadaan tambak semi intensif, kebutuhan akan listrik melesat, sehingga PLN memasok listrik dan mengoperasikannya selama 24 jam penuh.
Persoalannya, Budhy mengungkapkan, kemenangan petambak di PTUN atas Sekda Pemkab Jepara justru menjadi awal dari kesulitan lebih besar yang dihadapi petambak. Alih-alih mematuhi perintah MA agar menerbitkan izin bagi petambak, Pemerintah Kabupaten Jepara bersama DPRD Kabupaten Jepara justru menerbitkan Perda RTRW baru, Perda nomor 4 tahun 2023, yang di dalamnya tidak memberi ruang bagi usaha budidaya perikanan. Itu berbeda dengan Perda RTRW 2/2011 yang berlaku sebelumnya, yang memberi ruang bagi budidaya perikanan air payau.
Sejak Perda RTRW tak lagi mengakomodasi kepentingan usaha tambak udang, terminologi ‘ilegal’ pun mulai dihembuskan terhadap para petambak Karimunjawa.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi selanjutnya pun kian menyudutkan posisi petambak. Dimulai kedatangan Greenpeace Indonesia ke Karimunjawa dan mengekpos melalui sejumlah kanal media sosial pada 18 September 2023 tentang kondisi perairan Karimunjawa yang disebutkan telah tercemar limbah warna merah disertai busa-busa hijau. Greenpeace bahkan menyebut limbah tersebut berasal dari tambak udang.
“Anehnya, setelah Greenpeace melakukan aksi bersih-bersih limbah pantai, sebelum mereka meninggalkan Karimunjawa, limbah warna-warni disertai busa itu tidak pernah lagi muncul di Karimunjawa. Limbah serupa itu tidak pernah ditemui baik sebelum Greenpeace datang maupun setelah Greenpeace pergi, sehari setelah bersih-bersih,” ujar Budhy.
Warga petambak yang merasa heran dengan bentuk limbah tersebut sempat mengambil contoh sampel air dan melakukan pengecekan di Laboratorium Pengujian dan Kalibrasi, Kementerian Perindustrian, yang berlokasi di Jl Kimangunsarkoro, Semarang, Jawa Tengah. Hasil uji di laboratorium itu menunjukkan bahwa limbah itu berasal dari zat pewarna tekstil.
Kontan hal itu membuat petambak kian terheran-heran. Pasalnya, selain jarak penemuan pencemaran dengan lokasi tambak berjarak cukup jauh, di Karimunjawa tidak pernah terdapat pabrik tekstil. “Jadi kita ketahui ini adalah bagian dari membangun opini bahwa petambak adalah pencemar lingkungan,” tandasnya.
Masalah yang dihadapi petambak pun kian meruncing. Dimulai dengan pengambilan sampel air laut oleh Balai Taman Nasional (BTN) pada 17 Oktober 2022 yang hasilnya diklaim mengandung cemaran di atas baku mutu, disusul kemudian oleh laporan LSM Lingkungan Kawali kepada Presiden RI Joko Widodo seraya meminta agar tambak udang Karimunjawa dihentikan, pada 21 Oktober 2022, serta dilaksanakannya proses hukum pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 16 Februari 2023.
Tak cukup sampai di situ, pada 2 hingga 4 November 2023 petambak menghadapi operasi gabungan yang melibatkan aparat Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, penyidik penegakan hukum (gakkum) dari KLHK, dan petugas kepolisian. “Hingga puncaknya, terbit surat pemberitahuan dimulainya penyidikan atas empat tersangka petambak, Sutrisno, Teguh Santoso, Mirah Sanusi Darwiyah, dan Sugianto Liman. Mereka adalah petambak-petambak vokal membela hak petambak sejak masalah menimpa. Jika tidak, mengapa hanya empat orang itu? Bukan semuanya saja sebanyak 23 petambak? Toh perbuatan yang mereka lakukan tidak berbeda, berbudidaya tambak udang, mengambil air laut, dan membuang limbah tambak melalui IPAL?” ujar Budhy.
Selain menghadirkan perasaan miris, paparan ihwal nasib petambak Karimunjawa juga memunculkan perasaan risau pada anggota Komisi IV F-PKS Slamet. Itulah sebabnya, setelah mendengar paparan asosiasi petambak, disampaikan Slamet, dirinya merasa perlu untuk menanyakan lebih lanjut, apakah di luar proses hukum yang sudah dijalankan, para petambak menangkap adanya indikasi lain. “Apakah peristiwa yang menimpa para petambak ini murni pelanggaran hukum atau ada semacam persoalan lain. Misalnya, semacam pertarungan kepentingan atau semacam grand design untuk menghapus eksistensi petambak di Karimunjawa?” ujar Slamet.(srv)