WanitaIndonesia.co, Jakarta – Setelah Batik pecah pamor menjadi busana kerja, popularitas wastra Indonesia lainnya stagnan.
Sempat terbetik upaya mempromosikan tenun, namun hasilnya tak terlalu menggembirakan. Beragam cara dilakukan untuk menggairahkan penggunaan wastra dalam olahan modern, mengikuti selera kekinian masyarakat. Pemerintah, praktisi, serta ekosistem wastra berkolaborasi melakukan beragam cara agar gaungnya membumi.
Banyak permasalahan ikhwal penetrasi produk seni wastra yang menjadi salah satu aset bangsa
Dibutuhkan solusi komprehensif, agar masyarakat mengapresiasi wastra yang identik dengan teknik, serta pembuatan berbasis pekerjaan tangan.
Inilah yang kemudian menginisiasi Kementerian Badan Usaha Milik Negara berkolaborasi dengan DEKRANAS, serta didukung oleh BUMN Pupuk Indonesia, Bank BNI, Telkomsel, Sarinah, Taspen, dan Sucofindo menyelenggarakan Kelana Wastra Fashion Fest (KAWFEST) 2024 di Sarinah Jakarta. Menjadi gelaran event pertama yang mempertemukan ekosistem wastra Nusantara dalam sebuah wadah.
Sukses penyelenggaraan perdana di Sarinah Jakarta, gelaran serupa akan menyambangi sejumlah kota besar lainnya.
Agar visi membidik Gen-Z dapat terlaksana dibutuhkan komitmen, langkah nyata dengan menghadirkan produksi fesyen berbahan wastra yang affordable, dengan desain kekinian.
Disayangkan hal ini belum banyak dilakukan terutama oleh desainer profesional yang mumpuni.
WanitaIndonesia.co menyoroti aspek keberlanjutan dalam upaya menggaungkan wastra ke kalangan generasi muda Milenial, dan Gen-Z.
Upaya kolaborasi yang telah dilakukan Pemerintah dengan menggandeng Pemangku Kepentingan, serta ekosistem wastra harus dibarengi dengan sejumlah inovasi yang membumi, lebih jeli membidik pasar anak muda.
Kendalanya harga produk fesyen desainer ternama terkenal mahal, mengingat bahan, serta proses pembuatannya, serta komponen biaya produksi.
Jika fesyen desainer merasa keberatan, atau belum siap untuk membuat brand turunan, Desainer dapat berpartisipasi dengan menyumbangkan ilmunya ke pengrajin dengan menginspirasi, melatih terutama pada segi inovasi produk, pengembangan motif, serta warna yang menyelaraskan zaman.
Aspek lain yang tak kalah penting edukasi ke konsumen, yang bisa dilakukan dengan jemput bola. Pemangku kepentingan bisa melakukan edukasi ke sekolah-sekolah, lewat website, serta beragam upaya kreatif lainnya untuk menggugah kesadaran Gen-Z, bahwa wastra Indonesia itu tak ternilai. Kaya oleh beragam simbol bermakna dari dimensi warna, serta motif.
Disayangkan, masih banyak masyarakat yang tak paham, kain yang diproduksi secara hand made dengan print. Apalagi harus mengenal secara spesifik teknik wastra seperti Batik, Tenun, Songket, dan Ikat.
Saat berbicara ikhwal wastra tradisional, hal yang harus digarisbawahi proses pembuatan yang rumit, butuh waktu karena berpedoman ke pakem menggunakan bahan alami, serta dikerjakan dengan tangan.
Beragam permasalahan klasik yang belum mampu diurai pemangku kepentingan adalah minimnya pengrajin, karena kendala regenerasi. Selain itu ketersediaan bahan utama seperti benang sangat terbatas, serta masih harus impor.
Walau di dalam negeri stok benang lokal berlimpah, disayangkan kualitasnya kurang. Selain itu sumber pewarna alami seperti dari daun, kulit, akar, umbi pohon, dan buah-buahan yang sebagian populasinya telah menyusut.
Last but not least, Pemerintah harus menerapkan praktik menggunakan wastra asli Indonesia pada sejumlah momen penting seperti menjadi bagian dari seragam sekolah, instansi Pemerintah, institusi swasta, serta beragam momen lainnya. (RP).