wanitaindonesia.co – Fatia Maulidiyanti, adalah perempuan pembela HAM yang saat ini sedang dilaporkan oleh Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik dengan UU ITE. Dukungan untuk Fatia mengalir, perempuan muda yang berani untuk bicara.
UU ITE kembali dijadikan ‘senjata’ bagi penguasa membungkam suara masyarakat sipil. Baru-baru ini, Fatia Maulidiyanti menjadi sasarannya.
Koordinator KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) itu, banyak dikenal sebagai perempuan pembela HAM atau women human right defenders yang bekerja untuk membela hak-hak kelompok rentan di masyarakat.
Bersama Haris Azhar, yang memiliki rekam jejak yang panjang sebagai pembela masyarakat, keduanya sedang dilaporkan menggunakan UU ITE oleh Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik. Selain pidana, mereka juga digugat secara perdata sebesar Rp 100 miliar.
Penggunaan pasal karet dalam UU ITE untuk mengkriminalkan dan membungkam kritik itu, tentu tidak sejalan dengan seruan Presiden pada bulan Februari 2021 yang mengatakan bahwa UU ITE sarat dengan substansi yang dapat merampas rasa keadilan masyarakat sehingga perlu direvisi.
Fatia Maulidiyanti, Perempuan Muda Berani Bicara
Siapakah Fatia Maulidiyanti, perempuan muda berani yang membeberkan tentang dugaan pencemaran lingkungan yang diduga melibatkan banyak pejabat di Indonesia?
Fatia merupakan koordinator KontraS periode 2020-2023. Dia dikukuhkan melalui Rapat Umum Anggota pada tanggal 29 Juni 2020. Fatia menggantikan Yati Andriyani yang sebelumnya menjabat sebagai koordinator kontraS periode 2017-2020.
Perempuan lulusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Parahyangan itu, sebelumnya di kontraS menjabat sebagai Kepala Divisi Advokasi Internasional. Dia juga merupakan alumni dari Sekolah HAM (SeHAMA) KontraS tahun 2014.
Dia secara konsisten menjalankan agenda advokasi nasional pada beberapa kasus di ranah internasional, baik melalui mekanisme resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) maupun advokasi jejaring internasional yang ditujukan untuk kampanye, seperti terkait kasus Munir, kebebasan sipil, isu ekonomi, sosial, budaya serta HAM lainnya.
Fatia mempunyai pandangan, menyambung estafet perjuangan HAM dengan keterlibatan anak muda memang perlu digaungkan. Ini begitu penting, mengingat pelanggaran HAM masih saja terjadi di negara ini.
Semangat inilah yang terus dijalankan Fatia di KontraS: memberdayakan keterlibatan kaum muda untuk bersama-sama melakukan advokasi. Utamanya, bagi kelompok-kelompok rentan, yang selama ini negara kerap abai dengan isu HAM.
Kasus Yang Menimpa Fatia Maulidiyanti
Pernyataan Fatia dan Haris dalam talkshow berdurasi 35 menit, berujung gugatan Menko Marves Luhut. Mereka yang terancam dikenai UU pencemaran nama baik dan UU ITE itu, padahal mereka hanya membahas hasil riset Walhi Indonesia dan beberapa lembaga non organisasi yang mencoba membuktikan bahwa operasi militer di Kabupaten Wabu, Papua Barat, bukanlah untuk tujuan perdamaian dan keamanan Papua. Melainkan, menguasai lokasi bekas tambang emas milik PT. Freeport Indonesia.
Perusahaan-perusahaan besar seperti PT. Toba Sejahtera Group, PT. Antam Indonesia, PT. Madina Qurrata’ain hingga PT. Freeport Indonesia, masuk ke dalam daftar pemegang saham paling besar pada MIND.ID, pemegang konsesi dan izin untuk melakukan kegiatan pertambangan di daerah Wabu.
Kepemilikan saham yang sebagian besar dikuasai oleh purnawirawan TNI dan polri itu, lantas mengundang kecurigaan tersendiri. Termasuk, nama Luhut sebagai Purnawirawan TNI yang kini menjabat sebagai komisaris PT. Toba sejahtera group, sekaligus menjabat sebagai Menko Marves di era pemerintahan Jokowi.
Selain itu, Purnawirawan TNI lainnya, Paulus Prananto dan purnawirawan polisi, Widya Tampubolon, juga ditemukan dalam riset itu. Keduanya, pernah masuk dalam tim bravo 5, yakni tim yang pemenangan Joko Widodo pada pilpres 2019.
“Tobacom Del Mandiri, anak perusahaan Toba Sejahtera Group. Pemegang sahamnya adalah lord Luhut. Selain Toba Sejahtera ada PT FI komisarisnya bekas pangdam cenderawasih. Mind.id sahamnya diisi tobagroup ada Luhut B Panjaitan, Paulus Prananto, Dewan Penasihat bin muhammad munir ada di mind id, di antam ada TNI Agus surya bakti, ada juga komisaris jenderal bambang surya bowo ada juga Donny Donardo dulu di BNPB,” terang Fatia beberapa waktu lalu.
Fatia melanjutkan, operasi militer yang dilakukan di kabupaten Wabu, tak lain adalah upaya untuk mempermudah pelaksanaan izin pertambangan. Menurutnya, operasi militer yang dilakukan pemerintah selama ini diindikasikan untuk keamanan dan kedamaian, yang bahkan sekarang melebar ke isu terorisme di tanah Papua itu tidak benar. Namun, ada indikasi mengkondisikan agar warga lokal mengungsi dan meninggalkan tanah adatnya.
“Kalau kita bicara tanah papua itukan bukan tanah kosong ya, seharusnya dalam izin tambang perusahaan juga harus mengantongi surat izin yang sudah disetujui oleh warga lokal,” tambahnya.
“Tapi saat ini warga sudah banyak yang lari mengungsi ke daerah lain karena operasi militer itu,” sambung Fatia.
Bagaimanapun juga, Fatia menekankan, Pemerintah harus mencabut izin perusahaan, pemerintah perlu menarik TNI dan Polri, pemerintah juga harus menindak tegas aparat yang melanggar HAM. Sebab, operasi tadi hanyalah kamuflase di balik bisnis para purnawirawan TNI.
“Internally displace person, by force, titik awal permasalahan papua adalah militerisme yang katanya demi keamanan dan kedamaian sampai melebar ke terorisme, ternyata dibalik itu ada isu ekonomi,” tegas Fatia.
Banjir Dukungan Untuk Fatia dan Haris
Pejabat Publik sudah semestinya memiliki fungsi untuk mensejahterakan, melindungi dan mempromosikan hak-hak warga negaranya. Namun pelaporan yang dilakukan oleh Menko Luhut ini, jelas bertentangan dengan fungsi tersebut. Pelaporan ini justru menjadi bentuk kriminalisasi terhadap Pembela HAM. Apabila ketika menyangkut Papua.
Apa yang menimpa Fatia dan Haris ini, sekaligus menambah daftar panjang kriminalisasi terhadap aktivis dan pejuang rakyat. Di era Undang-undang Cipta Kerja, hal itu semakin kentara karena sarat dengan kepentingan investasi yang tengah banyak digencarkan. Sementara, pengawasan dan kritik publik tidak didengar oleh pemangku kepentingan. Bahkan, malah mengkriminalisasi.
Tak sendiri, dukungan demi dukungan kian terbangun untuk Fatia dan Haris. Beberapa organisasi masyarakat sipil dan non-profit turut bersolidaritas.
Koordinator jaringan solidaritas untuk Fatia dan Haris Azhar, Vivi Widyawati, menjelaskan galang suara solidaritas ini dilakukan, untuk menunjukkan kepedulian dan dukungan untuk kedua pejuang HAM ini.
Meski perjuangannya bakal tak mudah, namun Vivi bilang, momentum ini bisa digunakan sebagai upaya untuk mencegah ketumpulan demokrasi di Indonesia. Sehingga, kebebasan berpendapat terjamin.
Kriminalisasi terhadap aktivis adalah lambang upaya melukai demokrasi dan kemanusiaan. Sementara itu saat ini penggalangan dukungan ini masih terus bertambah. Vivi mengaku jika galang dukungan ini hanya langkah awal untuk bersolidaritas, tak menutup kemungkinan, jika akan ada aksi lanjutan berikutnya.
“Jadi, pertama tentu kita menentang kriminalisasi yang dilakukan Luhut kepada aktivis pembela HAM, jadi apa yang terjadi pada Fatia dan Haris, bisa saja terjadi pada siapa saja, kita sadar ini bukan kali pertama pemerintah mencoba untuk membungkam kritik dan mengkriminalisasi aktivis.”
Vivi Widyawati mengatakan, dalam proses pelaporan Fatia dan Haris, Menko Marves Luhut menyampaikan ia paham bahwa kebebasan berpendapat dihargai di negara demokrasi seperti Indonesia. Namun, sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, seharusnya Luhut adalah orang yang paling mengerti bahwa tidak pernah mudah untuk menyoal tentang politik investasi di Republik Indonesia, apalagi ketika menyangkut tentang Papua.
Kejadian ini juga mengulang bagaimana kritik tidak dihiraukan oleh pemangku kepentingan dalam prosespengesahan Undang Undang Cipta Kerja yang sarat dengan kepentingan investasi. Padahal jutaan masyarakat Indonesia telah menyampaikan kritik terhadap proses dan substansi Undang-Undang tersebut.
Sehingga, alih-alih mempraktekkan kebebasan absolut seperti yang Menko Luhut sampaikan dalam pelaporan, masyarakat di Republik ini masih harus terus berjuang untuk meraih kebebasannya, termasuk dalam hal ini adalah Fatia dan Haris.
Apa yang menimpa Fatia dan Haris, sekaligus menambah daftar panjang kriminalisasi terhadap aktivis dan pejuang rakyat. Sebelumnya juga ada pejabat publik yang melaporkan 2 (dua) orang peneliti ICW atas hasil risetnya. Apabila hal seperti ini terus dibiarkan, maka dikhawatirkan memperburuk situasi HAM di Indonesia. Sulit untuk menjamin warga terhindar dari ancaman kriminalisasi kedepannya. Jika proses demokrasi berlangsung tanpa kritik
“Bangsa Indonesia akan mengalami kemunduran dari apa yang sudah diraih di masa reformasi. Padahal masih banyak cita – cita reformasi yang belum digapai. Peristiwa getir ini mempertegas bahwa reformasi sejatinya telah dikorupsi.”
Menko Marves Luhut juga menyampaikan bahwa alasan pelaporan Fatia dan Haris adalah untuk mempertahankan nama baiknya ke anak dan cucu. Vivi Widyawati menyampaikan, sebagai Menteri yang terpilih melalui sistem demokrasi di Indonesia ini, Menko Marves Luhut sangat penting untuk mengerti bahwa terdapat tanggung jawab yang lebih besar untuk disampaikan pada generasi muda termasuk anak dan cucu Menko Marves Luhut, bahwa demokrasi di Indonesia bukanlah imaji. Dan salah satu indikatornya adalah ketika perlindungan untuk menyampaikan pendapat dan kritik dari seluruh lapisan masyarakat.
Vivi Widyawati mewakili sejumlah organisasi seperti Jaringan Muda Setara, Lingkar Studi Feminis, Forum Pengada Layanan, dan puluhan organisasi serta individu yang mendukung, selanjutnya menyatakan meminta Polda Metro Jaya untuk menghentikan proses pemidanaan terhadap Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar
“Juga kami meminta Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan untuk mencabut pelaporan pada Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar.”