Perlindungan, Penanganan, dan Pemulihan Korban Kekerasan Seksual dalam Perspektif Islam

wanitaindonesia.coPemerintah dan DPR telah menyepakati RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas (Prolegnas) DPR RI 2021.

Namun, tantangan yang dihadapi oleh RUU P-KS di tengah masyarakat, salah satunya adalah RUU P-KS tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Dalam upaya untuk mengedukasi publik serta mencari jawab atas isu yang berkembang tersebut International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menggelar talkshow pada 28 Januari 2021, dengan tema “Perlindungan, Penanganan, dan Pemulihan Korban Kekerasan Seksual dalam Perspektif Islam”.

Narasumber pertama dalam acara yang dilaksanakan secara daring ini adalah Alimatul Qibtiyah selaku Komisioner Komnas Perempuan 2020-2024.

Alim menyampaikan bahwa selama masa pandemi, sekitar 80.3% korban kekerasan seksual tidak melapor ke lembaga layanan. Salah satu faktor yang melatarbelakangi diamnya korban adalah karena payung hukum yang telah ada saat ini belum bisa menjangkau ragam kasus dan ranah terjadinya kekerasan seksual. Hal tersebut dibuktikan dengan data yang menunjukkan bahwa hanya 22% kasus yang diproses secara hukum ke pengadilan.

Lebih lanjut, Alim menyatakan proses panjang advokasi RUU P-KS disebabkan karena salah kaprah akan pemahaman RUU P-KS.

“Banyak orang yang belum membaca, tetapi sudah bilang kalau RUU P-KS pro zina, tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, menghancurkan keluarga,” tuturnya. Alim juga menyampaikan bahwa dalam RUU P-KS tidak ada yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, apalagi menghancurkan agama.

Alim menambahkan bahwa RUU P-KS justru memberikan penguatan kepada keluarga Indonesia untuk berani mengungkap praktik kekerasan yang terjadi di dalam keluarga dan bukan melindungi keluarga yang melakukan kekerasan terhadap anggotanya.

H. Hamim Ilyas, Sekretaris Majelis Tarjih PP Muhammadiyah selaku pembicara kedua menyampaikan bahwa hakikat Islam adalah rahmatan lil ‘alamin atau rahmat bagi seluruh alam.

Indikator dari rahmatan lil ‘alamin adalah sejahtera, damai dan bahagia, sehingga jika ada pengabaian terhadap kasus kekerasan seksual berarti tidak menghargai manusia sebagai nafs. Hamim juga menyampaikan bahwa hakikat hubungan antara antara laki-laki dan perempuan adalah setara dan bukan subordinat seperti atasan dan bawahan.

Lebih lanjut Hamim menyampaikan jika terjadi kekerasan dalam hubungan dengan menggunakan dalil agama menurutnya hal itu merupakan sebuah kesalahan karena bertentangan dengan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Berdasarkan Al-Quran, hakikat hukum dalam surat Al Baqarah adalah untuk mewujudkan batas-batas kebahagiaan.

Kekerasan Seksual membuat perempuan tidak bahagia, hal ini berarti ketika umat islam tetap melanggengkan Kekerasan Seksual maka umat islam di Indonesia melanggar batas-batas kebahagiaan. Adanya RUU P-KS juga diharapkan dapat mewujudkan ketertiban sosial dan kehidupan yang agung atau hayatun.

Menguatkan pendapat pembicara sebelumnya, Nur Rofiah selaku Anggota Majelis Musyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), menyampaikan bahwa KUPI mendukung disahkannya RUU P-KS. Nur Rofiah juga menegaskan bahwa RUU P-KS tidak hanya melindungi bangsa dari menjadi korban, tetapi juga melindungi bangsa ini dari menjadi pelaku kekerasan seksual.

Sistem yang dibangun RUU P-KS pun komprehensif karena adanya jaminan hukum bagi perlindungan korban dan ancaman hukum bagi pelaku. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban negara untuk segera mengesahkan RUU P-KS, sebab “kebijakan penguasa mesti didasarkan pada kemaslahatan rakyat (termasuk perempuan)”.

Pembicara terakhir adalah Anggia Ermarini, Ketua Umum Pimpinan Pusat Fatayat NU dan sekaligus Anggota DPR RI Komisi IX.

Anggia mengemukakan pentingnya membangun opini masyarakat melalui narasi para narasumber yang ahli dibidangnya agar tidak terjadi salah paham terhadap RUU P-KS.

Menurut Anggia, penyampaian tentang bagaimana islam memandang kekerasan seksual, dan penanganannya melalui RUU P-KS ini juga harus mudah ditangkap oleh masyarakat, supaya proses pembahasan dan pengesahannya tidak terhambat lagi.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini