wanitaindonesia.co – Bu Mia (57 tahun), hampir 15 tahun menjadi pekerja rumahan, mengambil pekerjaan menjahit sepatu dari sebuah pabrik sepatu kulit buatan salah satu negara di Eropa. Sekali ambil sepatu 10 pasang sepatu. 1 pasang sepatu membutuhkan 2 hari kerja untuk menjahitnya. Pekerjaan Bu Mia dihargai per 10 pasang sepatu sekitar 40 ribu hingga 50 ribu, tergantung modelnya. 40 ribu untuk model sneakers dan 50 ribu untuk model boot. Jadi per pasang sepatu kira-kira Bu Mia mendapatkan upah 4 ribu-5 ribu rupiah. Sepatu jahitan Bu Mia hanya di luar negeri. Harga per pasang sepatu model sneakers atau boot di pasaran internasional sekitar 90 hingga 190-an USD atau sekitar 1,4 juta hingga 3 juta rupiah.
(Pengalaman Bu Mia 57 tahun, Pekerja Rumahan sektor jahit sepatu)
Pernahkah terlintas dalam benak anda kisah dibalik barang-barang yang kita gunakan hampir setiap hari untuk beraktifitas? seperti pakaian, sepatu, tas, sandal, hingga pakaian dalam yang kita beli dari berbagai pusat perbelanjaan, begitu pula dengan makanan serta minuman yang kita konsumsi untuk memuaskan rasa lapar dan haus?
Umumnya, baik produk berskala lokal maupun internasional dengan harga yang bervariasi menjadi pilihan untuk dibeli atau tidak didasari serangkaian pertimbangan tentunya, diantaranya, soal pakaian atau sepatu, biasanya terkait paduan antara kualitas desain, bahan, dan jahitan, dan terakhir adalah apakah ketiganya menciptakan kenyamanan di tubuh kita atau tidak, meningkatkan penampilan kita atau sebaliknya?
Produk makanan dan minuman pun tidak jauh berbeda, apakah bisa menciptakan kenyamanan rasa di lidah kita atau tidak. Kadang hanya dengan mengetahui suatu produk itu berlabel luar negeri, umumnya konsumen langsung menilai pasti berkualitas bagus. Mahal tapi sepadan.
Pengetahuan kita tentang produk tertentu seringkali terbatas pada fakta fisik. Alangkah bijaknya jika kita mencoba sejenak menelisik fakta lain dibalik produk-produk tersebut.
Selama ini ada tangan-tangan luar biasa terampil milik para pekerja rumahan dibalik proses produksi produk yang kita beli dan keberadaan mereka diluar jangkauan radar rantai pasok (supply chain) industri pakaian jadi, kerajinan rumah tangga, kerajinan umum, pangan, dan jenis industri lainnya. Peran mereka sangat vital dalam pembuatan setiap item namun status mereka sengaja dibuat tetap “tidak terlihat” demi menghemat biaya produksi. Kondisi kerja dan besar upah para pekerja rumahan berada dibawah standar layak sebagai pekerja.
Pekerja rumahan adalah orang-orang yang bekerja di dalam rumah dan memperoleh upah. Beberapa pekerjaan yang mereka lakukan misalnya: mereka menjadi pekerja pembuat sandal, pembuat baju, pembuat sepatu tapi dilakukan di rumah-rumah. Biasanya mereka digaji secara harian oleh pengusaha atau majikan.
Umumnya mereka adalah para perempuan. Di Indonesia, munculnya pekerja rumahan dilatarbelakangi oleh meningkatnya arus globalisasi dan meningkatnya permintaan konsumen dari negara-negara maju. Pandu Wirawan dari Trade Union Right Center (TURC) pernah menyebutkan bahwa hal inilah yang menyebabkan banyak investor asing mendirikan pabrik di Indonesia. Untuk menekan biaya pembayaran buruh-buruhnya, maka mereka kemudian memberikan modal untuk mendirikan usaha-usaha rumahan. Hal ini mereka lakukan agar bisa menekan biaya dibandingkan jika mereka harus menggaji para buruh yang kerja di pabrik mereka
Status Perempuan Pekerja Rumahan
Selain upah dan kondisi kerja yang tidak layak, mereka juga rentan menjadi korban kekerasan karena dipandang tidak bekerja melainkan hanya mengisi waktu luang atau kalaupun bekerja dianggap hanya untuk tambahan penghasilan. Padahal banyak diantara mereka adalah pencari nafkah utama bahkan orang tua tunggal.
Perempuan pekerja rumahan tidak dianggap seutuhnya sebagai pekerja dengan segenap hak-hak konstitusionalnya yang wajib dipenuhi oleh pemberi kerja. Situasi tersebut mendorong para perempuan pekerja rumahan berinisiatif untuk bersatu dan bergerak memperjuangkan hak-hak mereka sebagai pekerja melalui berorganisasi, beraliansi, memperluas jaringan serta kerjasama dengan berbagai pihak untuk bisa meningkatkan kesadaran para pemangku kepentingan. Terutama di kalangan pekerja rumahan sendiri di seluruh Indonesia untuk mengatur strategi yang efektif untuk mencapai kondisi kerja dan upah layak.
Karena pekerja rumahan itu adalah pekerja yang berhak atas perlindungan dan upah layak, namun hingga kini mereka belum diakui statusnya sebagai pekerja atau buruh, inilah yang membuat nasib mereka jauh dari kondisi layak. Kondisi yang sama juga menimpa Pekerja Rumah Tangga (PRT), dua entitas ini belum dilindungi oleh negara dalam bekerja,
Maka yang harus dilakukan adalah meminta para majikan atau pemberi kerja agar terbuka, melakukan transparansi, memberikan upah yang layak dan jaminan sosial. Sedangkan pemerintah harus memberikan regulasi terhadap para pekerja rumahan ini. Dalam UU 13/2003 misalnya tidak disebutkan klausul tentang pekerja rumahan sehingga tidak ada perlindungan untuk mereka.
Dalam rangka mendukung gerakan pekerja rumahan, Semarak Cerlang Nusa –Consultancy, Research, and Education for Social Transformation (SCN-CREST) bekerjasama dengan Program MAMPU – Kemitraan Pemerintah Australia dan Indonesia untuk pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender, menyusun Panduan Penguatan Pekerja Rumahan dan Organisasi Pekerja Rumahan untuk Advokasi Kerja Layak, melibatkan 25 kelompok pekerja rumahan yang tersebar di 7 Provinsi atau 18 Kota/Kabupaten, sejak bulan April hingga Agustus 2018. Sebanyak 112 orang perwakilan pekerja rumahan dan empat mitra MAMPU yaitu TURC, YASANTI, MWPRI dan BITRA berpartisipasi aktif memberi masukan untuk isi panduan melalui diskusi terfokus, diskusi lapangan, dan lokakarya finalisasi panduan. Peluncuran Panduan Penguatan Pekerja Rumahan dan Organisasi Pekerja Rumahan untuk Advokasi Kerja Layak itu dilakukan pada Kamis, 25 Oktober 2018 lalu di Jakarta
Panduan ini dibuat untuk mendorong gerakan pekerja rumahan agar para pekerja rumahan mendapatkan upah layak dan jaminan kerja.