wanitaindonesia.co – Blak-blakan gaji DPR oleh Krisdayanti perlu diapresiasi sebagai upaya untuk mendorong transparansi anggota dewan. Ini bisa jadi momentum, keterbukaan publik dan peningkatan kinerja anggota dewan.
Krisdayanti (KD) tengah menjadi sorotan publik karena aksi blak-blakannya membeberkan gajinya sebagai anggota dewan perwakilan rakyat (DPR).
Ada yang mengkritik, tetapi lebih banyak yang mengapresiasi KD. Tentunya, disertai berbagai dorongan agar gaji yang fantastis itu, mesti memantik kinerja legislasi yang lebih berkualitas.
Di channel Youtube Akbar Faisal, KD mengaku menerima gaji anggota DPR senilai Rp16 juta. Selang beberapa hari, dia bilang menerima lagi sekitar Rp59 juta. Ada pula, dana aspirasi senilai Rp450 juta yang diterima 5 kali dalam setahun hingga dana reses sekitar Rp140 juta setahun sebanyak 8 kali.
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengapresiasi apa yang telah dilakukan KD yang berani bicara spontan terkait gajinya sebagai anggota DPR. Mengingat selama ini, masih jarang sekali anggota dewan yang mau membuka pemasukan yang diterima. Terlebih, kali ini ada rincian nominalnya.
“Saya kira suatu yang perlu diapresiasi. Saya kira sudah cukup lama kita menunggu ada anggota DPR yang dengan mudah bisa memberitahukan kepada publik atau orang lain berapa pendapatan dan tunjangan yang dia peroleh dari jabatannya sebagai anggota DPR,” ujar Peneliti Formappi, Lucius Karus dalam diskusi virtual bertajuk “Gaji dan Kriteria Wakil Rakyat yang Terhormat’, Sabtu (18/9/2021).
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Usep Hasan Sadikin mengatakan, keterbukaan anggota dewan soal gaji ini sebagai kebiasaan bagus. KD bisa menjadi pemicu agar anggota dewan lainnya juga tergerak mengikuti hal tersebut. Bahwa DPR harus transparan membuka gajinya pada publik adalah hal yang lazim karena gaji DPR memang dari publik.
“Itu memang hal yang harusnya jadi kewajaran, jadi pejabat publik termasuk DPR ini kan dananya dari publik,” ujar Usep kepada Konde.co, Senin (20/9/2021).
Menyoal anggota dewan yang membuka gajinya, menurut Usep Hasan, ini sebetulnya bukan kali pertama. Secara pribadi inisiatif itu sudah pernah ada, meski tidak begitu populer. Namun, KD sebagai artis, kemudian menjadi sosok yang telah banyak dikenal masyarakat ini, bisa memberikan pengaruh yang lebih luas. Setidaknya, memunculkan kesadaran di tengah masyarakat akan pentingnya transparansi di badan legislatif.
Menuntut Kerja Berkualitas Dewan
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati tak menampik, keterbukaan penggajian anggota dewan selama ini memang masih simpang siur.
Publik sebagai pembayar pajak sebagai sumber dana gaji wakil rakyat pun, tak banyak bisa mengakses informasi soal ini. Terlebih, melihat respons partai dan parlemen terkait tindakan KD yang membuka gajinya yang cenderung masih dianggap tabu.
“Semakin membuka tabir mengetahui aturan dan kebijakan apa yang sebenarnya digunakan oleh parlemen dalam hal memproses gaji atau upah wakil rakyat,” kata Mike dihubungi Konde.co, Selasa (20/9/2021).
Di satu sisi, Mike menilai, penyampaian KD soal gaji DPR ini sebaiknya digunakan sebagai refleksi terkait kinerja parlemen sendiri dengan sejumlah fasilitas terbaik yang diberikan negara. Alih-alih, hanya mengarah ke hal yang kurang etis. Seperti, untuk tujuan bermegah diri sebagai wakil rakyat yang memiliki gaji, tunjangan dan fasilitas mewah.
Performa kerja parlemen yang paling utama, menurutnya mesti mengacu kemampuan dalam membuat kebijakan yang betul-betul dapat memenuhi kebutuhan rakyat, seperti perlindungan, pemenuhan hak dasar, dan menciptakan sistem negara yang setara, adil, dan menyejahterakan semua tanpa terkecuali.
“Ini masih menjadi catatan penting. Kita sebut saja beberapa kebijakan yang seharusnya bisa segera diselesaikan RUU PKS, RUU PPRT, RUU Hukum Masyarakat Adat dan lain-lain, belum menjadi sebuah komitmen serius oleh parlemen,” kata dia.
Maka dari itu, Mike menekankan, dengan gaji dan fasilitas kelas wahid yang dimiliki oleh anggota parlemen sebesar itu, seharusnya berbanding lurus dengan kerja mereka memastikan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Khususnya, rakyat miskin dan marjinal, terlebih yang menjadi bagian yang memilih anggota dewan ini di daerah pemilihan (dapil).
Inilah mengapa, penyampaian KD meskipun dikatakan sebagai bentuk akuntabilitas, tetapi harus bisa lebih memberikan konteks informasi atau edukasi kepada publik secara proporsional. Sehingga, tidak menimbulkan perasaan luka bagi publik di tengah kondisi menghadapi dampak pandemi yang berat ini.
“Usul saja, jika KD atau aleg (anggota legislatif) ingin menyampaikan informasi terkait pendapatan yang diterima mereka, dapat disampaikan dalam format pelaporan yang dapat menunjukkan keterkaitan gaji, fasilitas dan tunjangan yang mereka peroleh dengan kinerja dan peruntukan yang sesuai dengan tugas dan peran sebagai wakil rakyat,” terangnya.
Senada, Akademisi Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI), Ayu Wahyuningrum menekankan, bahwa anggota dewan tak hanya harus transparan termasuk soal gaji. Namun, juga bisa meningkatkan kinerja serta kepeduliannya terhadap kepentingan rakyat.
Bukan saja, memastikan pelaksanaan UU dan anggaran negara berjalan optimal, tetapi juga mesti bisa mengakomodir aspirasi masyarakat, efektivitas keterwakilan hingga tugas-tugas pelayanan publik seperti membantu konstituen yang terdampak Covid-19 sampai penghargaan terhadap tenaga kesehatan (nakes) di dapil mereka. Sebab, banyak juga selama ini anggota dewan yang abai sebagai wakil rakyat.
“Apalagi dengan pandemi ini mereka makin bisa sembunyi-sembunyi. Rasanya sudah cukuplah warga dikhianati dengan sikap egois para wakil rakyat ini,” kata Ayu dihubungi Konde.co, Senin (20/9/2021).
Usep dari Perludem memberi catatan, bahwa citra parlemen dalam negeri buruk termasuk soal keterbukaan dan korupsi. Survei Transparansi Internasional Indonesia (TII) bertajuk Global Corruption Barometer 2020, menunjukkan bahwa DPR RI menjadi lembaga paling korup sepanjang 2020.
Dengan kondisi itu, maka gaji DPR yang disebut-sebut fantastis itu seolah tak sebanding dengan kinerjanya. Dia menilai, selain keterbukaan dan upaya menghapus korupsi, hal yang tak kalah penting dilakukan adalah memangkas ‘ongkos politik’ yang selama ini terbilang mahal. Sehingga, anggota dewan dengan gajinya yang sudah besar tetap saja tak merasa cukup.
“Keadaan situasi politik sekarang, bikin kompetisi pemilu jadi mahal. Jadi, posisi dewan seperti kayak investasi dan balik modal. Gaji yang didapat untuk dikumpulkan, untuk dipakai politik uang makanya dia bisa melakukan korupsi,” ujarnya.
Maka dari itu, Usep Hasan menekankan pentingnya upaya-upaya pengawasan kepada DPR. Mulai dari di tingkat dapilnya apakah agenda-agenda di pemilu berjalan, aspirasi-aspirasi diperjuangkan sampai pengawasan gaji harta kekayaan tiap tahun wajar atau tidak.