wanitaindonesia.co – Perekonomian pekerja seks mati di tengah pandemi. Karena karaoke dan tempat hiburan tutup, mereka memutuskan berjualan makanan. Namun makanan yang mereka jual dicap sebagai makanan haram.
Sari, bukan nama sebenarnya, adalah perempuan pekerja seks yang hidup di salah satu kota di Indonesia. Di masa pandemi pendapatannya menurun drastis, banyak tempat hiburan ditutup, ini yang membuatnya kesulitan mencari tempat bekerja.
“Pemasukan turun drastis, tidak boleh kumpul-kumpul karena bisa dikejar satpol PP, jam waktu kerja terbatas, jam 6 kerja jam 8 sudah ditutup, banyak lampu dimatikan, kami tak bisa bekerja,” kata Sari ketika diwawancara Konde.co pada 17 September 2021 melalui daring
Dulu, sebelum pandemi Sari bisa kerja pagi, siang atau malam dengan penghasilan Rp. 5 juta perbulan. Namun selama pandemi, ia dan teman-temanya hanya bisa kerja selama 2 jam saja. Sekali kerja hanya dapat Rp. 200 ribu. Sekarang sebulan hanya dapat Rp. 1,5 juta.
“Dapatnya hanya 200 ribu, tidak bisa kerja setiap hari karena sering ada razia malam karena pandemi, nongkrong di warung siang juga dirazia, lalu gak bisa kemana-mana karena takut dirazia.”
Sari dengan penghasilannya yang dulu, bisa kontrak rumah, sekarang ia kost bersama satu teman pekerja seks lain, 1 kamar bisa dibayar oleh 2 orang.
“Kostnya Rp. 600 ribu perbulannya lalu dibagi 2, masing-masing membayar Rp. 300 ribu. Selain itu makan makanan seadanya.”
Untuk mengubah kondisi ini, maka beberapa pekerja seks kemudian melakukan pekerjaan lain seperti berjualan kue, jualan ayam geprek, berjualan sayur, jualan online dan bekerja cuci gosok di rumah orang.
Namun jualan makanan ini seringnya tidak laku. Masyarakat umum memandang makanan yang dijual pekerja seks itu kotor dan haram, makanya jarang ada pembeli. Jika ada yang beli, pembelinya kebanyakan laki-laki yang menganggap pekerja seks bisa digoda. Stigma ini yang makin membuat runyam. Maka menjual makanan tak lagi bisa menjadi masa depan
“Kita melakukan hal yang lain, seperti buka warung, tapi yang membeli sepi, yang kebanyakan yang datang laki-laki dan memandang kita sebagai pekerja seks yang rendah. Rata-rata laki-laki ini ada maunya. Dan kendala lain, tidak boleh makan di tempat, waktu jualan terbatas, COD sepi, akhirnya pasrah kerja yang semula, jadi terima saja kalau ada pelanggan datang.”
Untuk yang bekerja sebagai cuci gosok, mereka biasa mendapatkan uang Rp. 30 ribu rupiah perhari atau Rp. 900 ribu setiap bulannya
Mira, bukan nama sebenarnya, juga seorang pekerja seks perempuan yang bekerja di kota yang berbeda di Indonesia. Kondisinya hampir sama, Setelah lokalisasi di kotanya ditutup, para perempuan pekerja seks kehilangan tempat kerja. Pandemi memperburuk kondisi ini, karena para pekerja seks bekerja apa saja yang bisa mereka lakukan, seperti berjualanan makanan. Sedangkan pekerja seks yang terkena HIV, mereka pernah kesulitan mengakses obat antiretroviral/ ARV yang harusnya bisa diakses orang dengan HIV/ AIDS secara rutin.
Nasib buruk juga menimpa pekerja seks lain yang bekerja di tempat karaoke dan bar, namun karena pandemi, akhirnya banyak yang tutup, padahal mereka ada yang punya hutang, maka harus memikirkan cara bagaimana mereka bisa membayar hutang dan mendapat masukan buat ekonomi keluarga.
“Mereka banyak yang takut, lalu bersembunyi karena penutupan, sekarang harus melunasi hutangnya dan tetap memenuhi kebutuhan keluarga,” kata Mira pada Konde.co
Kondisi Pekerja Seks: Makin Terpuruk Di Tengah Pandemi
Koordinator nasional Organisasi Perubahan Sosial Indonesia/ OPSI yang selama ini melakukan pendampingan pada pekerja seks, Liana, yang diwawancara Konde.co pada 17 September 2021 melalui daring, juga menyatakan bahwa apa yang disampaikan Sari dan Mira ini merupakan potret secara nasional yang dialami para perempuan pekerja seks di Indonesia.
Dalam laporan OPSI untuk Konvensi Anti Diskriminasi Perempuan (CEDAW) di tahun 2021 disebutkan, bahwa jumlah pekerja seks di Indonesia saat ini mencapai 230 ribu orang.
Liana memaparkan, dalam pandemi ini perempuan pekerja seks seperti kelompok marginal lainnya, merupakan kelompok yang tertinggal dari pandangan pemerintah, padahal pekerja seks adalah kelompok miskin yang membutuhkan bantuan.
“Namun lokalisasi yang ditutup dan tidak dapat pesangon dari tempat hiburan menyesakkan bagi pekerja seks. Saat ini sebanyak 70% pekerja seks kehilangan pekerja di masa pandemi.”
Para perempuan pekerja seks masih membiayai hidup, harus punya uang untuk membeli pulsa sekolah virtual bagi anak-anak pekerja seks. Di beberapa kota lain menurut catatan OPSI, para pekerja seks kemudian berjualan sambal cumi dipacking dan kue, namun pembelinya tetap sepi
Liana di awal pandemi juga berjualan makanan, ia numpang di halaman kantor OPSI, namun yang membeli juga minim.
Beberapa perempuan yang dulu bekerja di salon juga tidak bisa bekerja karena salonnya sepi, maka kemudian tidak heran jika di masa pandemi, jumlah perempuan pekerja seks semakin banyak, karena banyak pekerja salon yang kemudian mangkal menjadi pekerja seks
“Jika teman-teman tidak bekerja, pasti tidak cukup dengan hanya berdagang. Jadi yang lainnya dulu juga kerja di salon, mereka dulu tidak sepenuhnya mangkal, sekarang malah mangkal karena salonnya sepi. Pandemi ada PPKM semuanya tutup, nyalon, pendapatan gak ada, sekarang pada mangkal.”
Data OPSI menyebut, sekarang jumlah pekerja seks meningkat di masa pandemi, satu lokasi biasanya hanya 30-40 orang, sekarang sampai 50-60 orang karena kondisi memburuk di masa pandemi
Patungan Dana Karena Bantuan Sosial Sulit Diakses
Bagaimana dengan Bantuan Sosial (Bansos) dari pemerintah? Liana mengatakan, selama ini hanya sedikit yang bisa mengakses Bansos karena rata-rata Bansos hanya didapatkan dari pekerja seks yang punya Kartu Tanda Penduduk/ KTP kota setempat, padahal sebagian pekerja seks adalah pendatang yang datang ke kota
“Jadi ini menjadi tantangan kami. Kalaupun ada yang memberikan Bansos, ini hanya beberapa saja di sedikit kota yang bisa mengaksesnya.”
Di masa awal pandemi, ada yang mendapatkan Bansos tunai, tapi ini rata-rata tak lebih dari 10 orang di beberapa kota, mereka dapat 2 kali dapat Bansos, yaitu Rp. 600 ribu dan Rp. 300 ribu
Di beberapa kota, OPSI juga mendatangi dinas pendidikan agar mereka bisa mendapatkan bantuan untuk sekolah untuk anak-anak pekerja seks, namun sayangnya belum berhasil
Liana, tiap hari memantau dari laporan, dari group WhatsApp, apa saja yang terjadi pada perempuan pekerja seks, soal obat ARV yang sekarang sudah bisa diakses, jumlah pekerja seks yang terus bertambah, dan sulitnya mendapatkan ekonomi keluarga
OPSI di awal pandemi mencoba patungan dan menggunakan uang organisasi untuk membagi makanan dan sayuran bagi pekerja seks dan warga yang tinggal di sekitar para pekerja seks, namun ini hanya bisa dilakukan pada awal pandemi, setelah itu mereka tak bisa lagi melakukannya. Kangkung, Bayam, gula dan minyak dibungkus kecil-kecil ditempatkan di plastik ditaruh di lokasi, namun kini tak mungkin lagi melakukannya karena uang yang makin menipis
“Perjuangan teman-teman pekerja seks di wilayah dan situasi sekarang lebih sulit, di awal kita bisa mengupayakan membagi sayur pada yang lain. Ini dibagi ramai-ramai, upaya bertahan ini semakin sulit karena kebutuhan yang makin mahal.”
Transaksi Ekonomi Rugikan Perempuan Pekerja Seks
Apakah prostitusi atau menjadi pekerja seks merupakan pekerjaan yang layak untuk perempuan? Perdebatan soal ini terus terjadi hingga hari ini, walau dua perdebatan ini tidak saling mempertentangkan, namun saling menguatkan.
Ada sejumlah aktivis yang mengatakan bahwa prostitusi bukan merupakan pekerjaan yang layak untuk perempuan, karena dalam pekerjaan ini ada eksploitase terhadap tubuh perempuan yang menyebabkan kekerasan seksual, dan human trafficking.
Namun aktivis lain menyatakan bahwa prostitusi sebagai bagian dari pilihan perempuan karena ini merupakan dari pekerjaan. Bekerja sebagai pekerja seks adalah pilihan perempuan ketika kondisi ekonomi tak juga menyelesaikan nasib mereka.
Namun kedua pandangan ini sepakat bahwa dalam prostitusi yang harus dilawan adalah stigma yang hanya ditujukan pada perempuan. Selama ini hanya perempuan pekerja sekslah yang dihukum dalam rantai prostitusi, dianggap pendosa, dianggap maksiat dan menyalahi norma. Sedangkan laki-laki pelanggan atau pembeli seks lepas dari ini semua, tanpa stigma dan tindak pidana. Juga mucikari, preman, yang selama bekerja dengan tubuh pekerja seks, selalu lepas semua dari jeratan ini
Hal ini diungkapkan Slamet Riyadi dari Organisasi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia/ PKBI Kota Semarang yang menyatakan ini dalam diskusi Waroeng HAM: Apakah Prostitusi Pekerjaan yang Layak? pada 11 September 2021 yang diselenggarakan PKBI Jawa tengah dan LBH APIK Semarang, melalui daring.
PKBI Semarang pernah melakukan penelitian, dalam sehari terdapat 90 pembeli seks atau laki-laki pelanggan atau 2700 orang perbulan dengan jumlah transaksi ekonomi sekitar Rp. 1 milyar perbulannya. Namun sayangnya, uang ini hanya sedikit yang didapatkan oleh perempuan pekerja seks, karena uang lainnya lari ke tangan mucikari dan oknum yang lainnya seperti preman, rentainer, mucikari, juga pajak yang diterima pemerintah, dll
“Transaksi ekonominya terjadi ketika pemilik rumah mendapatkan uang sewa dari penyewa rumah, pemerintah mendapatkan pajak dari pemilik rumah. Sedangkan transaksi ekonomi atau manifest di sekitar pekerja seks adalah rentetan jaringan panjang seperti ada preman, rentainer, judi togel, pengedar narkoba, aparat keamanan, pengurus resos, pembeli seks, germo, tukiman.”
Liana membernarkan bahwa selama ini memang hanya pekerja seks yang mendapatkan stigma, dan selalu perempuannya, tidak pernah laki-laki pelanggan diberikan stigma.
Biasanya, setelah pekerja seksnya ditangkap, dipidana dan direhabilitasi, pemerintah memberikan kursus kue, kursus jahit, dll tapi ini tidak menyelesaikan persoalan karena lapangan pekerjaannya sebenarnya tidak disediakan. Kondisi yang sama juga terjadi ketika lokalisasinya ditutup pemerintah
Slamet Riyadi juga mengatakan bahwa kursus tanpa dibuka lapangan kerja adalah sia-sia belaka
“Diberi pembinaan mental, kesehatan, pendampingan ekonomi, tapi mereka tidak punya uang atau tanah untuk membuka usaha, yang paling memungkinkan adalah membuat tempat itu menjadi tempat usaha. Pasca penutupan, sudah buat makanan, alat kebersihan, pembuatan sabun, setelah penutupan semua bubar. Pemerintah hanya pencitraannya saja yang penting lokalisasi sudah ditutup, moralnya terjaga, penutupan atau tidak, tidak ada beda karena demand nya tetap tinggi, ini penutupan tanpa program pemberdayaan.”
OPSI memiliki perspektif bahwa pekerja seks merupakan pilihan perempuan dan OPSI hadir untuk memberikan pengetahuan agar para pekerja seks tidak dieksploitase dalam bekerja
Mira, misalnya tak pernah punya cita-cita menjadi pekerja seks ketika kecil. Awalnya, ia korban karena ditelantarkan suami, ia hanya lulusan SD, pernah bekerja di tempat lain tapi tidak cukup karena ia harus mencari uang untuk anak-anaknya.
“Siapa yang mau menjadi pekerja seks? Kalau ditanya waktu kecil, apa cita-citamu? Tidak ada yang mau menjadi pekerja seks. Awalnya kerja sebagai pekerja seks, saya sakit rasanya, tapi setelah bertemu OPSI, saya jadi tahu, yang penting bisa menjaga kesehatan, tidak sembarangan dan tidak diesploitase, tidak usah bayar germo, tidak jual jasa untuk orang, siapa klien yang saya mau terima dan siapa yang tidak, saya yang menentukan. Di OPSI kami belajar untuk punya pilihan dan kami cukup kuat dan ini pilihan saya dan tanggungjawab dengan tamu, pakai kondom, IMS, pap smear. OPSI mempunyai fungsi disini dan mengadvokasi ketika ada yang menjadi korban kekerasan,” kata Mira
Pengalaman perempuan seperti ini banyak tak tersentuh oleh orang lain, yang ada hanya anggapan bahwa pekerjaan ini tidak sesuai norma masyarakat, atau jual makanan dianggap haram.
Atau orang lain hanya berpikir bahwa yang penting mereka mendapatkan keuntungan ekonomi dari para perempuan pekerja seks. Ini jelas merupakan bentuk eksploitase yang tak kunjung selesai.
Padahal nasib perempuan pekerja seks makin terpuruk di tengah pandemi.