Perubahan Budaya Secara Langsung Menggerus Karakter Bangsa, Perlu Langkah Kongkrit & Aksi Nyata Menjaga Keutuhan Budaya

Fokus Group Diskusi dengan mengangkat judul “Revitalisasi Cerlang Budaya Lokal Dalam Membangun Karakter Bangsa Sebagai Sarana Pemberdayaan Masyarakat” pada Rabu (29/05/2024) di Jakarta.

WanitaIndonesia.co, Jakarta – Dompet Dhuafa dan Bina Trubus Swadaya melaksanakan kegiatan Fokus Group Diskusi dengan mengangkat judul “Revitalisasi Cerlang Budaya Lokal Dalam Membangun Karakter Bangsa Sebagai Sarana Pemberdayaan Masyarakat” pada Rabu (29/05/2024) di Jakarta.

Pada sambutanya, Parni Hadi selaku Inisiator dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Dompet Dhuafa Republika, mengatakan, bangsa Indonesia punya Pancasila yang luhur, agung dan indah. Tapi seperti tidak ada dampaknya secara nyata, maka apa yang salah. Jangan-jangan bangsa ini hanya pandai bicara saja, bisa berbicara tapi tidak bisa melaksanakan.
Parni juga mengungkapkan Dompet Dhuafa telah berbuat untuk membangun bangsa dan karakter bangsa. Tapi inisiator Dompet Dhuafa ini mengungkapkan kesedihannya. “Saya kok sedih, saya sedih. Tatkala korupsi, tatkala culas, bohong, curang, dan mementing kepentingan pribadi daripada kepentingan bangsa dan negara, sudah menjadi hal biasa, tatkala ideologi sudah jadi basa basi, menurut saya itu tanda kemerosotan budi pekerti (bangsa),”

Parni Hadi juga menyinggung soal tingkat kemiskinan yang belum menurun. Dia pun berharap agar FGD ini menghasilkan sesuatu yang kongkrit dan dapat diaplikasikan. Parni juga menyinggung soal mental korup dan menandakan kemorosotan budi pekerti. Jumlah orang miskin tidak berkurang, masih banyak jumlahnya, ingin memberantas kemiskinan, tapi kok masih banyak yang miskin, apa yang salah? (padahal) kita punya Pancasila”.

“Maka mari bedah dan bongkar pada fokus grup diskusi hari ini, kemudian melahirkan langkah konkret, bisa diterima dan dipraktikan. Selanjutnya bisa dicoba dilaksanakan, sebab di Indonesia sudah banyak yang bicara dan tulisan. Mungkin tulisan hasil penelitian jika ditumpuk sudah sampai langit, tapi tidak dilaksanakan dalam kehidupan nyata,” tambah Parni.

Sementara, Pendiri dan Pembina Trubus Bina Swadaya Bapak Bambang Ismawan dalam sambutannya membocorkan rahasia panjang umur Trubus Bina Swadaya (TBS) yang masih tetap eksis melakukan pemberdayaan para petani miskin di daerah sejak empat dekade lalu. Menurutnya, permasalahan kemiskinan sangat dinamis dan masih terus menjadi momok di Indonesia. Maka, selama masih ada kemiskinan, TBS masih tetap relevan berperan melakukan pemberdayaan. Meski pun sudah malang melintang di dunia pemberdayaan petani miskin selama 40 tahun lebih, Bambang Ismawan mengatakan, pihaknya selalu membuka diri untuk belajar dan bekerjasama dengan siapa pun.

Sambutan juga disampaikan Ketua Dewan Pembina Suluk Nusantara Bapak Bambang Wiwoho. Ia memaparkan tentang globalisasi yang telah menggempur nasionalisme dan peradaban bangsa Indonesia. Globalisasi ini banyak melahirkan sifat negatif seperti berkembangnya budaya hedonisme, pragmatis dan egois. Maka, ia sangat menghargai upaya Dompet Dhuafa dan Trubus Bina Swadaya yang menyelenggarakan forum diskusi untuk mencari solusi menyelesaikan permasalahan budaya anak bangsa.

Rahmad Riyadi selaku Ketua Pelaksana Fokus Grup Diskusi, disela acara tersebut menuturkan kegiatan FGD ini diperlukan untuk memahami perubahan budaya, dan mengantisipasi masuknya budaya budaya asing. Tidak hanya itu, budaya kuliner pun turut disinggung. Seperti misalnya masakan rendang yang pernah dinobatkan menjadi makanan paling enak di dunia. Menurutnya, paparan globalisasi dan teknologi pun turut berperan dalam mengikis budaya nasional.

Pada sesi pertama dihadiri Dr. Restu Gunawan selaku Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republika Indonesia, Prof. Nurhayati Rahman dari Universitas Hasanudin, Garin Nugroho Riyanto selaku Praktisi Seni Film dan Yudi Latif selaku Pembina Yayasan Dompet Dhuafa Republika dengan moderator Wahyu Wiwoho.

Saat pemaparannya, Restu Gunawan mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat kaya bahkan tidak sedikit yang sudah diakui sebagai warisan budaya dunia seperti batik dan makanan rendang. Sayangnya, masih banyak masyarakat Indonesia yang rendah diri dalam menonjolkan kebudayaannya di kehidupan sehari-hari. Misalnya saja, masyarakat Indonesia masih kurang percaya diri dalam mengenakan batik untuk acara-acara berskala internasional atau masih lebih percaya obat-obatan dan suplemen kimia dibandingkan mengonsumsi jamu untuk menjaga kesehatan. Padahal, batik dan jamu merupakan dua kebudayaan Indonesia yang sudah diakui dunia.

Maka, untuk memperbaiki permasalahan budaya, kita harus mengubah paradigma pola berpikir kita tentang kebudayaan, bahwa kebudayaan merupakan investasi bangsa. Kebudayaan adalah tuntunan hidup yang bisa menjadi tontonan dan kebudayaan bukan hanya bagian dari masa lalu, tapi juga masa kini dan masa depan.

Pembicara kedua, Prof. Dr. Nurhayati Rahman mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki karya sastra terpanjang di dunia bahkan lebih panjang dari epik India, Mahabarata dan Ramayana. Karya sastra ini adalah La Galigo. Bagi sebagian masyarakat Bugis yang menganut kepercayaan Tolotang, La Galigo bahkan dianggap sebagai kitab suci. La Galigo yang digubah pada masa pra-Islam disampaikan turun temurun melalui bahasa lisan atau dengan cara bertutur. Karya sastra ini juga dipertunjukkan dengan cara ditembangkan. Sayangnya, menurut Nurhayati, saat ini hanya tinggal satu orang yang bisa menembangkan La Galigo dengan baik.

Selanjutnya, Garin Nugroho menilai Indonesia sedang krisis humaniora yang menyebabkan lunturnya nilai-nilai budaya di antara anak bangsa. Ini terjadi salah satunya karena konfigurasi kepemimpinan di Indonesia tidak melibatkan tokoh-tokoh yang ahli dalam bidang humaniora. Jika humaniora hilang, maka hal-hal yang menyangkut budaya lokal juga tidak akan terlindungi.

Sementara, Yudi Latif memandang, masyarakat Indonesia memiliki kemampuan yang luar biasa dalam menyerap kebudayaan asing dan mengombinasikannya dengan kebudayaan lokal. Hal ini, misalnya terlihat dari relief-relief di dalam Candi Borobudur yang menggabungkan unsur kebudayaan India dan kebudayaan lokal. Kemampuan menyerap ini memerlukan dua prasyarat, yaitu penalaran krisis dan terbuka sehingga kita bisa mengambil apa yang datang dari luar secukupnya saja. Seharusnya kemampuan inilah yang perlu kembali dikembangkan oleh masyarakat Indonesia agar bisa tetap menerima arus informasi dari luar namun tetap bisa menjaga kearifan lokal.

Pada Sesi kedua dihadiri G.K.R Mangkubumi dari Keraton Yogyakarta, Maria Loreta dari Yayasan Agro Sorgum Flores, Andi Makmur Makka selaku Pangadareng dan Ilham Khoiri dari Bentara Budaya Kompas dengan moderator Facthuri Rosidin.

Pada pemaparannya, GKR Mangkubumi menilai, teknologi digital yang memudahkan orang untuk berkomunikasi dari tempat yang berbeda sudah sangat menguasai masyarakat. Padahal, sebagai orang timur aktivitas utama masyarakat Indonesia adalah bersosialisasi. Maka, perlu dipikirkan solusi bagaimana kita bisa tetap mengadopsi teknologi digital tanpa terbawa arus negatif globalisasi.

GKR Mangkubumi juga mengungkapkan jika dahulu hal yang berkaitan dengan adat lebih banyak dibahas dalam lingkup keraton, kini pihaknya mulai membuka permasalahan adat lebih luas sebagai wawasan kepada masyarakat bahwa kita memiliki budaya yang perlu dilestarikan. Sebab, budaya adalah identitas, rasa percaya diri, rasa bangga sehingga jangan sampai identitas hilang tergerus zaman.

GKR Mangkubumi menambahkan, budaya Jawa menekankan pada mendahulukan kewajiban tanpa menanyakan haknya. Budaya Jawa juga menekankan pada keharmonisan dan kedamaian juga memanusiakan manusia yang menimbulkan kepekaan rasa. Maka, sebagai orang timur, kita harus peka terhadap rasa yang kita olah.

Pembicara lainnya, Maria Loreta menuturkan bagaimana ia berjuang membangkitkan kembali budaya lama masyarakat Nusa Tenggara Timur dalam mengonsumsi makanan dari sorgum. Meski pemerintah menekankan untuk membudidayakan padi, jagung dan kedelai, Maria merasa ketiga tanaman ini tidak cocok di tanam pada kontur tanah NTT yang keras dan kering. Maka ia nekat terus mengembangkan sorgum hingga saat ini masyarakat NTT bisa berdaulat pangan meski harga beras kian melambung. Dalam budidaya sorgum, Maria juga masih menjaga kearifan lokal sehingga tanpa menerapkan ilmu pertanian yang baku, upayanya mengembangkan sorgum bisa tercapai.

Sementara pada kesempatan tersebut Andi Makmur Makka memaparkan perbedaan antara etnis Bugis dan Makassar. Meski sama-sama berada di Sulawesi Selatan, ternyata kedua etnis ini memiliki latar belakang dan karakter yang berbeda. Etnis Bugis, menurut Andi Makmur Makka berpusat di Bone sementara etnis Makassar pusatnya di Gowa. Keduanya berasal dari kerajaan besar di masa lalu, Bone dan Gowa.

Menurutnya, latar belakang etnis Makassar adalah penakluk karena itulah di masa lalu mereka memelihara angkatan perang yang kuat. Sementara, etnis Bone memiliki karakter selalu bekerjasama dengan kerajaan-kerajaan kecil di sekitarnya. Namun, perbedaan antara kedua etnis tersebut lama-kelamaan pudar karena perkawinan yang terjadi di antara masyarakat dari kedua etnis.

Pembicara terakhir dalam diskusi ini adalah Ilham Khoiri yang merupakan GM Bentara Budaya Kompas Gramedia. Ia menjelaskan tentang sangat rendahnya budaya membaca di Indonesia. Indeks literasi Indonesia sangat jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Pendidikan di Indonesia juga sepertinya belum menjadi prioritas, terbukti dengan adanya kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang belakangan menjadi polemik.

Di sisi lain, media sebagai watchdog atau alat sebagai alat pengontrol kekuasaan sekarang juga sedang terseok-seok. Akibatnya sulit mendapatkan informasi yang terverifikasi atau cover all side.

Ilham menambahkan, saat ini kita banyak terkecoh dalam era post-truth media sosial di mana orang tidak mencari kebenaran tapi mencari pembenaran. Hoax pun bertebaran di mana-mana. Akibatnya masyarakat kita banyak mengalami masalah psikologi dalam media sosial, di antaranya gejala phubbing yaitu mengabaikan orang lain karena kecanduan media sosial. Masyarakat Indonesia juga dinilai sedang mengalami krisis identitas. (adv)