WanitaIndonesia.co, Jakarta – Bertempat di auditorium Perpustakaan Nasional Jalan Medan Merdeka Selatan Adara Relief International kembali mengadakan acara peringatan Nakba. Tahun ini acara digelar dengan tema “Ongoing Nakba: “Turn Back The Narration of Palestine”, Minggu (12/05).
“Ongoing Nakba: Turn Back The Narration of Palestine, bermakna bahwa kita tak hanya menolak lupa pada peristiwa Nakba 15 Mei 1948, namun juga mengungkap bahwa faktanya Nakba masih berlangsung hingga saat ini. Kita harus mengembalikan narasi yang benar akan apa yang terjadi di Palestina. Tragedi Palestina bukan hanya tragedi di satu tempat; ini adalah tragedi bagi dunia karena ketidakadilan merupakan ancaman bagi perdamaian dunia,” jelas Indah Kurniati Direktur Keuangan dan Operasional Adara Relief International dalam sambutan yang ia berikan dalam pembukaan kegiatan.
Kegiatan ini berisikan talkshow, bedah buku, dan pameran seputar peristiwa Nakba dan sejarah Palestina dengan narasumber dalam dan luar negeri dengan harapan dapat membuka wawasan peserta akan peristiwa Nakba yang masih berlangsung hingga saat ini. Tak hanya itu, Chikita Fawzi turut memberikan penampilan spesial single terbarunya yang berjudul ‘Tanah Para Nabi’.
Para muslimah Majelis Taklim Bani Umar Bintaro, bersama seorang pelukis yang biasa disapa Ki Gamblang mewarnai kegiatan pameran dengan melakukan kegiatan menyulam dan melukis secara secara langsung selama kegiatan berlangsung. Hasil sulam dan lukisan kemudian didonasikan untuk Palestina melalui Adara.
“Kegiatan ini diadakan untuk mengembalikan narasi yang utuh tentang yang terjadi di Gaza, Palestina. Agresi Israel tidak hanya terjadi pada peristiwa 7 Oktober 2023, namun sejak Nakba 1948 dan bahkan jauh sebelumnya. Semoga melalui acara hari ini, kepedulian masyarakat Indonesia terhadap Palestina tidak hanya muncul ketika agresi terjadi, tetapi terus menerus hingga rakyat Palestina dapat meraih kemerdekaannya.” Jelas Fitriyah Nur Fadilah selaku ketua pelaksana kegiatan ini sekaligus kepala departemen research and development Adara Relief International.
Pada kesempatan ini Dr. Shaima Abu Shaban, seorang asisten profesor Universitas Gaza menuturkan kisahnya, “Jika sebelumnya saya menjalani kehidupan yang normal, pergi ke universitas untuk mengajar. Kini semua yang saya miliki telah dirampas oleh penjajah. Penjajah telah merenggut seluruh anggota keluarga saya, seluruhnya di depan mata saya. Saya kehilangan semuanya, Alhamdulillah. Ya Allah aku ridho dengan takdir-Mu maka ridhoilah aku.” Di tengah penyerangan yang terjadi dan kondisi fasilitas kesehatan yang rusak parah di Gaza Dr. Shaima dipaksa pindah di bawah todongan senjata pendalam kondisi terluka dan sebagian anggota tubuhnya diperban. “Saya mengungsi melewati ‘rute penyeberangan Amin (aman)’ yang diklaim aman oleh penjajah Israel, akan tetapi tidak ada keamanan di sana yang ada hanya ketakutan, kematian dan potongan jasad manusia.”
Ezzeddin Lulu, residen dokter di Gaza Utara turut memberikan kesaksian terhadap isu Gaza the Next Chapter of Gaza, “November lalu saya harus menangani pasien dalam kondisi tidak ada listrik, jaringan telefon atau apapun selama sepekan penuh. Saya sedang mengobati korban di RS Al-Shifa saat tank dan para penembak jitu tentara penjajah Israel merangsek ke dalam RS Al-Shifa. Sebagai seorang dokter kami dipaksa melihat pasien kami mati kehabisan darah di depan mata. Pertama kali dalam seumur hidup saya harus menguburkan jasad di dalam rumah sakit, semua terjadi dalam satu pekan dalam rentetetan kejadian paling mengerikan di RS Al-Shifa.” Pertama kali dalam hidupnya ia merasa keilmuan yang ia dan rekan-rekan medisnya jalani selama ini seperti tak berharga di mata dunia, tidak ada keadilan bagi tenaga medis yang sedang bertugas di Gaza. Ezz menutup pesaannya dengan kalimat, “Saya bersaksi bahwa perjuangan kami, kehilangan yang kami rasakan dan ketangguhan kami akan menjadi jalan bagi Palestina memperoleh kemerdekaannya.” Ezz menyampaikan kisahnya dari dalam kawasan RS Al-Shifa, dan terdengar jelas suara drone Israel yang terus mengelilingi langit Gaza.
Hatem Hany Rawagh, seorang jurnalis di Jalur Gaza yang saat ini sedang bertugas di Rafah turut menyampaikan kisahnya selama agresi yang terjadi hingga saat ini, “Saya telah menyaksikan banyak peristiwa agresi dan operasi militer penjajah Israel yang dilancarkan ke Gaza, dimulai sejak tahun 2008, 2012, 2014, 2021 dan peristiwa yang masih berjalan sampai saat ini di saat para penduduk sipil kembali menjadi target serangan diiringi pengusiran paksa.”
Hatem memberikan kesaksiannya dari dalam tenda pengungsian di dalam kawasan rumah sakit di Rafah, ia melanjutkan “Kemudian pada pecahnya peristiwa 7 Oktober, penjajah Israel memerintahkan warga Gaza berpindah-pindah dengan dalih di sana adalah area yang aman. Namun kenyataannya tidak ada satu tempatpun yang aman di Gaza, tak ada yang luput dari kekejaman penjajah Israel. Berbagai pemberitaan telah kami lakukan, namun dunia internasional mendadak buta bahkan sengaja menutup mata dengan apa yang terjadi saat ini. Rekan jurnalis pun tak luput dari kekejaman penjajah Israel, diberitakan sejak 210 hari agresi militer Isrel ke Gaza, setidaknya 142 awak media tewas saat sedang bertugas. Jumlah ini adalah jumlah terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah jurnalistik.”
Hatem menutup pemaparannya dengan sebuah asa di Gaza, bahwa apapun yang terjadi di Gaza hari ini, Gaza masih memiliki cita-cita dan masa depan, kami menantikan mimpi kami akan terwujud segera dengan izin-Nya.
Meski belum berkesempatan hadir secara langsung karena sedang menghadiri konferensi internasional di Doha, dr. Fauziah Hasan turut memberikan pemaparannya terhadap isu Ongoing Nakba ini. “Freedom Flotilla merupakan gerakan yang memiliki empat tujuan utama; menghentikan blokade atas Gaza, menyadarkan masyarakat, mengungkap negara-negara yang terlibat dalam blokade Gaza, dan terakhir menyokong kemerdekaan Palestina. Pada agresi tahun ini, Flotilla memutuskan untuk mengesahkan tiga misi besar dan Break The Siege salah satunya, dengan target melayarkan tiga kapal kargo dan penumpang ke dalam Gaza melalui jalur laut.
Namun misi yang seharusnya sudah berlayar sejak Maret-April kemarin ini digagalkan oleh diplomasi Israel kepada Amerika, Eropa beserta satu negara Afrika, Guinea Bissau. Hal ini amat disayangkan karena pada saat itu seluruh tim sudah berada di Istanbul dan siap memberangkatkan misi Break The Siege ke perairan Gaza. Atas pembatasan yang terjadi, FFC segera menyiapkan misi kemanusiaan Handala yang saat ini sudah memasuki perairan Copenhagen.” dr. Fauziah menitipkan pesan bahwa walau terdapat banyak halangan tapi teruslah berjalan, jangan berputus ada dan jadilah bagian dalam right side of history tutupnya.
Akhmad Masbukhin selaku Koordinator Timur Tengah dan Afrika, PSKK ASPASAF, BSKLN, Kementerian Luar Negeri menyatakah bahwa mengenai isu Palestina setidaknya ada tiga hal yang perlu kita ketahui bersama, “Pertama, konflik Palestina-Israel adalah satu-satunya konflik dalam sejarah yang memiliki durasi sangat panjang. Kedua, konflik Palestina-Israel adalah satu-satunya konlik yang reperkusinya menjangkau hingga ke seluruh dunia, jauh melampaui batas-batas tanah yang dipersengketakan. Ketiga, konflik Palestina-Israel juga telah mengalami mutasi eksistensi, yakni tidak lagi menjadi sekadar sengketa teritorial, namun juga menjadi sala-satu defining symbols dalam konsistensi politik internasional modern.”
Dalam pemaparannya, Amar Arrisalah menyatakan bahwa “Saat ini banyak sekali orang-orang yang menggembosi isu kepalestinaan dengan mengatakan ‘kalau saja Gaza tidak menyerang lebih dulu, genosida yang berlangsung saat ini tidak akan berlangsung’ padahal pemicu utama kejadian (agresi 2023-2024) ini setidaknya dimulai pada tahun and 2022 ketika Netanyahu menyatakan akan menghancurkan Gaza dan mendirikan kota di atasnya,” paparnya. “lalu, di Tepi Barat sudah sekitar 15 ribu orang ditawan, kita bisa cek di website Adara mengenai fakta penyiksaan tawanan Palestina di dalam penjara Israel. Kira-kira wajar ngga Gaza memperjuangkan martabat dan kemerdekaan mereka (Palestina)?” Amar melanjutkan “Menurut warga Gaza yang ia temui sejauh ini, seluruhnya sepakat bahwa genosida Gaza yang terjadi saat ini hanyalah isu turunan, mereka menyatakan bahwa isu utama dari perjuangan mereka sejauh ini ialah pembebasan Al-Aqsa.” tutupnya.
Maryam Rachmayani turut memberikan sambutannya secara daring, beliau saat ini sedang menghadiri konferensi internasional bersama ratusan tokoh internasional di Qatar. “Kami mengucapkan terima kasih kepada para peserta yang hadir hari ini di acara peringatan Nakba. Semoga dengan hadirnya para peserta di acara ini dapat menambah wawasan dari para pembicara hebat yang hadir hari ini.”
Lara Elborno, seorang pengacara Palestina-Amerika turut menyampaikan pesan kepada peserta melalui kanal online “Ini adalah pesan saya untuk para pengacara perempuan dan seluruh perempuan Indonesia. Terima kasih banyak untuk solidaritas, kehadiran dan dukungan terhadap kemerdekaan dan perjuangan Palestina. Terima kasih dan lanjutkanlah segala upaya dan perjuangan kalian untuk kemerdekaan Palestina.”
Bersama Lara, hadir pula Diana Buttu seorang pengacara Palestina yang juga juru bicara PLO memberikan pesan kepada rakyat Indonesia agar tetap fokus menjalankan aksi boikot dan mendorong upaya untuk memberikan hukuman kepada Israel atas genosida dan seluruh kejahatan yang telah mereka lakukan selama ini. Tak ketinggalan, Kholoud Al-Dahdouh putri dari jurnalis Wael Al-Dahdouh yang ikut memberikan dukungan dan ucapan terima kasih kepada warga Indonesia yang tetap fokus mendukung kemerdekaan Palestina.
“Seorang sahabatnya bertanya, ‘Mengapa saya tidak pernah melihat anda tersenyum?’ Lalu Shalahhudin menjawab, ‘Bagaimana bisa aku tersenyum sedang Al-Aqsa terjajah. Bagaimana bisa aku merasakan enaknya makanan sedang saudaraku sedang disakiti di Palestina,’ remember that name Shalahuddin.” Edgar memulai pemaparannya mengenai ‘Who’s The Next Shalahuddin?’, “Nuruddin membuat narasi besar bahwa Al-Aqsa telah memanggil, sebelum wafat Nuruddin telah membuat sebuah mimbar sebagai simbol kebebasan Al-Aqsa.
Meski ia belum dapat meletakkannya di semasa hidupnya, namun ia telah merancang sebuah generasi ‘Generasi Shalahuddin’. 13 tahun pasca wafatnya Nuruddin, Shalahuddin ‘Sang Pelengkap Kemenangan’ berhasil menaklukkan Al-Aqsa dan meletakkan mimbar itu di dalamnya. Perlu 13 tahun menyiapkan generasi terbaik dan hanya butuh waktu 13 bulan untuk membebaskan Baitul Maqdis. Artinya, kehadiran kita dalam menjaga narasi kebebasan Al-Aqsa merupakan upaya menyiapkan generasi pembebas Al-Aqsa, upaya menciptakan Shalahuddin walau mungkin pada saat Al-Aqsa merdeka,kita tak berkesempatan melihatnya.” Tutupnya.
“Buku ini hadir untuk menjawab berbagai pertanyaan mengenai apa yang terjadi di Palestina, dan terkait 7 Oktober maka buku ini semakin jelas menampilkan bahwa apa yang terjadi di Palestina jauh sebelum 7 Oktober.” Jelas Fitriyah dalam pemaparannya, “Sejarah tidak pernah sama, tetapi sikap manusia yang membuatnya seolah terus terulang kembali.” Fitriyah juga mengatakan bahwa buku ini adalah asupan penting bagi semua usia, agar narasi pemelintiran isu Palestina dapat kita jawab dengan fakta.
Acara kemudian ditutup dengan penyerahan kunci. Kunci ini merupakan simbol perjuangan rakyat Palestina, kunci yang mereka bawa sejak meninggalkan rumahnya saat pengusiran pada Nakba 1948, kunci ini kemudian menjadi simbol keyakinan mereka bahwa suatu saat mereka akan kembali ke rumahnya kembali. Kunci diserahkan oleh Syekh Fayez Al Ghoul, syekh Palestina asal Gaza Dr. Siti Zainab pendiri Adara Relief International sebagai simbol Turn Back The Narration of Palestine. Dalam kesempatan ini Syekh Fayez memberikan apresiasi sebesar-besarnya kepada Adara dan seluruh peserta yang hadir karena telah terus mengedukasi dirinya mengenai apa yang terjadi di Palestina saat ini dan masa sebelum 7 Oktober.” (adv)