Kuliner Tahun Baru Islam Eksotisme Kearifan Lokal dari Ritual Hindu hingga Bubur Nabi Nuh, serta Tradisi Masyarakat Melayu Pulau Penyegat

Ayam Ingkung, kuliner ritual Hindu yang kini dijadikan menu khas tahun baru Islam masyarakat Jawa. Foto : Istimewa

WanitaIndonesia.co, Jakarta – Pergantian tahun baru Hijriah memiliki tradisi dari ritual berdoa, harapan, serta kegiatan yang memiliki unsur kemeriahan yang khas. Banyak daerah memiliki tradisi unik saat merayakannya. Salah satu hal menarik adalah aspek kuliner yang disajikan untuk memeringati Tahun Baru Islam 1 Muharram.

Masyarakat Jawa menamakan perayaan malam tahun baru dengan istilah Satu Suro yang sangat populer di Indonesia. Biasanya tradisi kuliner akan dimulai dengan mengolah, menyajikan, berdoa kemudian bersantap bersama sejumlah sajian khas diantaranya Ayam Ingkung dan Bubur Asyura.

Ayam Ingkung merupakan tradisi kuliner yang berakar dari agama Hindu. Karya sastra kuno Serat Centhini II menamakan Iwak Pitik, dahulu diolah menjadi uba rampe (sesaji) dalam tradisi Jawa kuno, pada sejumlah ritual penting.

Olahan menggunakan ayam kampung yang dimasak utuh, namun sudah dibuang jeroannya. Proses mematangkan ayam yang dikenal dengan istilah mengungkep membutuhkan waktu lama, sekitar 4-5 jam agar dagingnya empuk, serta bumbunya meresap. Dimasak bersama santan kental, bumbu halus seperti bawang merah, bawang putih, cabai, kemiri, kunyit, jahe, jintan, ketumbar dan merica menawarkan rasa gurih sedap nan khas.

Sebagai sajian pada peringatan kematian, Ayam Ingkung disajikan dengan kepala yang diatur dengan dua posisi berbeda. Masing-masing memiliki makna tersendiri. Posisi menunduk melambangkan keluarga memohon ampunan dosa, serta kesalahan anggota keluarga yang telah wafat. Kepala ayam dengan posisi ke arah belakang merupakan perlambang, agar manusia senantiasa ingat kepada segala sesuatu yang dikerjakan. Senantiasa bersyukur atas apa yang dimiliki.
Ingkung memiliki arti harfiah, Aku berdoa dengan khusyu.

Selain kearifan lokal masyarakat Jawa, masyarakat Pulau Penyengat memiliki khasanah kuliner istimewa Bubur Asyura. Bubur ini disajikan pada hari ke – 10 Muharram yang bertepatan dengan Hari Asyura atau populer dengan nama Lebaran Anak Yatim.

Asyura berasal dari bahasa Arab, Asyah artinya sepuluh, merupakan hari ke – 10 di bulan Muharram. Masyarakat lazim memasak bubur Asyura dalam suasana guyub, kemudian diantar beramai-ramai ke masjid Raya Kesultanan Riau.

Bubur disajikan di dalam mangkuk, lalu diletakkan diatas nampan, dilengkapi dengan 4 mangkuk dan sendok, yang diperuntukkan untuk 4 orang jamaah.
Diawali dengan doa, kemudian bubur akan disantap bersama-sama. Bagi warga yang berhalangan hadir di masjid, bubur akan diantar ke rumah-rumah.

Bubur Asyura telah dimasak sejak zaman Nabi Nuh.
Foto : Istimewa

Bubur Asyura diolah dari beras, beragam biji-bijian seperti kacang hijau, kacang merah, kacang kedelai, kacang tanah, jagung, biji nangka, biji durian. Jenis umbi terdiri dari singkong, ubi jalar dan kentang.

Bumbu dan rempah halus terdiri dari bawang merah, bawang putih, jahe, lada hitam, cengkih, kayu manis, dan kapulaga. Bumbu tabur diracik dari serundeng kelapa, ikan bakar dan udang rebus yang digiling halus yang diberi taburan bawang goreng.

Aroma harum sedap rempah, serta rasa gurih pedas bubur Asyura membuat sajian yang hadir setahun sekali ini sangat digemari. Menurut ahli sejarah bubur Asyura telah dikenal sejak zaman Nabi Nuh, yang dijadikan sebagai makanan ritual, ungkapan rasa syukur setelah diselamatkan Allah SWT dari banjir besar. (RP).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini