wanitaindonesia.co – Tiba-tiba novel Eka Kurniawan yang berjudul “Cantik itu Luka” dikutip begitu saja, serampangan dan menghebohkan jagat twitter. Anehnya, kutipan serampangan soal perempuan itu justru berakhir dengan makian pada novelis Eka Kurniawan.
Novel “Cantik itu Luka” karya novelis, Eka Kurniawan yang memperjuangkan soal perempuan di tengah cara pandang patriarki, tiba-tiba menghebohkan twitter karena dikutip dengan sangat serampangan.
Padahal dalam novelnya ini Eka Kurniawan menuliskan kondisi riil yang dialami perempuan yang harus hidup dalam standar fantasi laki-laki. Anehnya, kutipan dari netizen itu justru berakhir dengan makian kepada Eka Kurniawan
“Semua perempuan itu pelacur, sebab seorang istri baik-baik pun menjual kemaluannya demi mas kawin, dan uang belanja atau cinta jika itu ada.”
Itu adalah salah satu dialog Dewi Ayu, salah satu tokoh dalam novel garapan Eka Kurniawan yang sempat menjadi trending topic di twitter, 6 Oktober 2021 yang dikutip begitu saja tanpa melihat konteks, oleh pemilik akun @rm_bgsr:
Yg nama nya eka kurniawan FIX GOSAH LU TEMENIN sp yg tau doi bacok aj ato geprek otaknya. Bisa2 cok merepresentasikk wanita sbg pelacur dan memakai kata “semua perempuan pelacur” Dia keturunan lonte ibuknya neneknya mbaknya, adek cwenya, sodara2 cwe nya lonte semua bangsat!
Komentar yang dikutip sembarangan tanpa konteks ini kemudian ramai di twitter, disahuti oleh yang lain. Padahal, sebagai pembaca novel-novel Eka Kurniawan, bukan Eka yang merendahkan perempuan, tak ada satupun dari bagian novel itu yang merendahkan perempuan. Eka hanya bercermin, dari apa yang terjadi pada perempuan di tengah masyarakat kita, hingga hari ini, dan entah berapa tahun lagi.
Yang kedua, yang membuat saya sedih luar dalam adalah ketika tweet yang berupa teks tanpa konteks ini, diambil dengan sembarangan dan dikomentari secara cepat oleh yang lain.
Ini tentu merupakan narasi yang sangat berbahaya, bisa menghancurkan kredibilitas orang lain dan tak bertanggungjawab
“Cantik Itu Luka”, Gambaran Kondisi Perempuan Dari Masa ke Masa
Yang menarik dari novel “Cantik itu Luka,” bukan hanya bagaimana Eka Kurniawan dengan tepat menggambarkan kondisi perempuan dari masa ke masa, namun betapa riuh orang-orang membicarakan perempuan, dan saling menggurui untuk memberitahu: bagaimana perempuan seharusnya bersikap.
Kegaduhan itu seperti cerminan kondisi yang digambarkan Eka Kurniawan. Novel yang berhasil menyabet penghargaan world reader ini menggambarkan bagaimana perempuan memang sangat sulit mendapatkan ruang aman, untuk melontarkan pendapat, atau bahkan sekedar mengamini refleksi yang ia dapat dari sebuah buku.
Dalam novel ini, Eka berhasil menghadirkan problematika perempuan yang bahkan sampai hari ini masih harus kita hadapi. Dua diantaranya yakni, obyektivitas terhadap tubuh perempuan, dan kekerasan seksual.
Perempuan yang dipaksa menjadi pekerja seks karena menjadi tawanan perang perempuan, dan harus melanjutkan profesinya demi hidup layak ke-empat anaknya. Bukankah kondisi seperti ini memang sangat dekat dengan kondisi riil perempuan saat ini?
Dewi Ayu, tokoh dalam novel ini adalah manifestasi perlawanan terhadap sistem patriarki yang mengurung perempuan atas pilihan hidup yang dia ambil. Hanya dalam novel inilah perempuan bisa dihargai, termasuk karena ia adalah perempuan pekerja seks. Perlawanan Dewi Ayu dengan sikap yang tenang mampu membius pembaca, dan dengan tidak langsung, akan membakar amarah siapapun yang mulai menjajaki tiap babnya.
Dalam novel ini, karakter utama digambarkan sangat mengerti kondisi sosial lingkungannya, yang sangat misoginis dan melihat perempuan sebagai alat seksual. Ironinya, apa yang digambarkan Eka pada zaman pra-perang hingga kemerdekaan dalam novelnya, hingga kini masih relevan.
Pemerkosaan dalam rumah tangga, dan pemaksaan untuk memiliki misalnya yang dialami Alamanda, anak pertama Dewi Ayu. Eka dengan lugas menceritakan perlawanan yang tak henti dilakukan Alamanda sejak dari rumah. Apa yang dialami Alamanda adalah kondisi perempuan sebenarnya, bahwa meskipun berada dalam rumah, perempuan bisa jadi korban.
Ada bagian dalam perlawanan Alamanda yang paling membekas dalam ingatan, yakni ketika sang Shodanco (Suami Alamanda) berusaha menanamkan benih dalam rahimnya, namun benih itu sama sekali tak membuahkan hasil, ia hanya menjelma menjadi angin.
Buat saya ini adalah semacam sarkasme, yang ditujukan untuk aksesibilitas aborsi aman, yang masih jauh dari harapan bagi kehamilan yang tidak direncanakan.
Meski perut Alamanda digambarkan membesar layaknya orang hamil, namun bayi itu sama sekali menghilang, menyisakan angin, dan perut yang kembali kempes. Inilah imajinasi para korban pemerkosaan bukan? Imajinasi ini tentu adalah proses panjang yang dilalui Eka, hingga ia bisa tahu bagaimana benak para korban pemerkosaan, dan apa yang dia inginkan.
Terlalu banyak dialog, bahkan adegan sarkasme yang Eka suguhkan untuk kembali mempertanyakan, bagaimana lingkungan kita selama ini berperilaku terhadap perempuan.
Kritik ini kemudian terdengar sangat menyakitkan hati bagi masyarakat yang hobi melumuri perempuan dengan dosa dan peraturan tak masuk akal lainnya.
Tidak ada ruang aman untuk perempuan, bahkan dalam imajinasi laki-laki, perempuan bisa dimangsa hidup-hidup hanya karena ia memiliki buah dada, juga wajah yang dinilai menggoda hasrat.
“Sebab anjing tak akan peduli apakah aku cantik atau tidak.”
Ini adalah salah satu monolog yang juga berkesan bagi saya, kenyataan bahwa perempuan hanya dinilai dari bagaimana penampilan luarnya saja adalah pil pahit yang harus diakui, dan susah untuk digerus hingga kini.
Cantik, semua hanya tentang cantik. Perempuan dalam novel Eka maupun kehidupan nyata diciptakan sebagai pemuas pandangan dan fantasi laki-laki, jika tidak memenuhi standar kecantikan yang juga dibuat oleh laki-laki, kamu akan dianggap lebih rendah dari manusia.
Salah satu representasi cantik yang digambarkan Eka dalam novelnya adalah Putri. Putri Ayu yang menjadi rebutan antar manusia lain bahkan negara lain
Ini adalah potret negeri kita bukan? picisan yang hampir selalu ada di sektor manapun, Tak peduli mau seberapa bodoh atau cerdasnya seorang perempuan, asalkan wajahnya memenuhi standar fantasi laki-laki, ia akan dianggap menjadi salah satu bagian dari masyarakat yang disukai lak-laki. (wi)